Minggu, 01 Juli 2012

Sekolah, Kita, Indonesia


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Orang-orang kita lahir dari sekolah, tampil mengusung ide-ide modern, memainkan peran sebagai lokomotif dalam pergerakan ke
Orang-orang besar bisa lahir dari sejarah bersekolah. Institusi pendidikan ini membentuk, menyulut, dan mengantarkan orang melakukan ziarah intelektual untuk menggapai cita. Sekolah mirip titian berkah: menjadikan orang sumringah menata hidup dan mengangankan nasib. Sejarah sekolah pun terseret dalam biografi diri, dikenang dan dipuja sebagai almamater, disimpan dalam deretan peristiwa-peristiwa terpenting dalam hidup. Orang mau sekolah, orang mau mengubah nasib.
Bagaimana sekolah turut mendefinisikan kita dan Indonesia? Lembaran-lembaran sejarah sekolah tampak lengket, jarang tersentuh dan terbacakan, mendekam dalam ruang sempit dengan bisikan-bisikan tak terdengar. Sekolah sebagai sistem, struktur, ideologi, dan nilai merupakan “pemberian” Eropa. Sekolah adalah agen pembaratan ditilik dari sejarah misi dan kolonialisme. Mampir dan menyebar di penjuru Nusantara, membentuk pola pendefinisian dengan menjauh dari akar kultural-lokal dan mengeja diri dalam mata-epistemologis Barat.

Minggu, 24 Juni 2012

Kekerasan


Geger Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

Di masa Orde Baru, orang-orang menanti tibanya hari seperti yang kita jalani setiap hari sekarang ini. Tak ada sosok tunggal yang mana kekayaan di seluruh Indonesia dengan gampang terjatuh ke bawahnya, dan warga hanya dapat menonton dengan pasrah dari balik penjagaan tentara. Tak ada sesosok Paman Gober yang mana uang ibarat dicetak hanya untuk mengalir kepadanya.
Dan, benar, inilah eranya. Kemakmuran tidak lagi digenggam bulat-bulat oleh satu sosok. Namun sekarang, siapa yang tidak punya kawan yang tak pernah menghela napas sambil merindukan ketenangan hidup di masa sebelumnya? Saat melangkah ke era ini, kita dengan polos mendambakan keadilan dan gagal melihat bahwa kekerasan juga turut akan terbagi-bagi dengan "adil" ke tengah-tengah masyarakat. Tahu-tahu saja kekerasan menjadi bahasa baru yang menyergap kita. Menengadah ke atas, kita hanya akan menemukan negara yang membatu di hadapan kekerasan kekuatan-kekuatan masyarakat terhadap warga. Dan yang tersisa tinggal apa yang ada di belakang kita.

Minggu, 17 Juni 2012

Tidak Terbit

Minggu ini, 17 Juni 2012, Koran Tempo tidak terbit karena bertepatan dengan libur nasional (Isro Miraj 1433 H).

Minggu, 10 Juni 2012

Teknologi Pemulihan Lahan Sakit


Tualar Simarmata
GURU BESAR FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Kesehatan dan kesuburan lahan sawah di Indonesia saat ini sudah sangat kritis, dan sebagian besar sudah sakit berat. Akibatnya, respons terhadap pemupukan semakin melandai (leveling off). Sementara produktivitas padi rata-rata nasional terus meningkatkan dari sekitar 2 ton pada 1960-an hingga menjadi sekitar 4,5 ton per ha pada 1990-an, dari periode 1990 hingga 2011 produktivitas hanya berkisar 4,6-4,9 ton per ha. Tanah yang telah mengalami degradasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai lahan sawah sakit dan kelelahan (sick soils and fatigue).
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) mengungkapkan, saat ini sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta ha) memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen C-org), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3persen C-org). Tanah dengan kandungan C-organik < 2persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3persen, maka kondisi tersebut sudah sangat kritis.

Minggu, 03 Juni 2012

Doa dan Pancasila


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Pancasila tak sekadar pidato atau perdebatan pelik soal falsafah negara. Sejarah Pancasila pun menguak doa. Kita bisa melakukan selisik melalui pengakuan Sukarno. Pancasila mewartakan religiositas sebagai basis politik Indonesia. Sukarno telah merancang Pancasila sejak 1920-an untuk memberi makna dan mengisahkan Indonesia. Ritus menggali-mengolah Pancasila memuncak saat menjelang pidato Pancasila: 1 Juni 1945.
Sukarno menerangkan peristiwa religius di rumah beralamat di Jalan Pengangsaan Timur 56: malam menjelang pidato Pancasila. Kita bisa turut merasai ritus pendoa untuk mengajukan Pancasila sebagai falsafah Indonesia. Sukarno (1964) mengisahkan: “Saja keluar di malam sunji itu dan saja menengadahkan wadjah saja ke langit. Dan, saja melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan, di sinilah saja merasa kecilnja manusia, di situlah saja merasa dhaifnja aku ini, di situlah aku merasa pertanggungan-djawab jang amat berat dan besar jang diletakkan di pundak saja, oleh karena keesokan harinja saja harus mengemukakan usul saja tentang hal dasar apa negara Indonesia merdeka harus memakai.” 

Minggu, 27 Mei 2012

Menertawai Korupsi


M. Fauzi Sukri
MAHASISWA KAJIAN AMERIKA UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak ada, kataku dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad perihal subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk ditertawai. Saat semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk mencegah, menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan korupsi tak henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita sedang menghadapi diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual dengan mulut besar menganga. 
Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini, kita sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus sampai di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan Goenawan Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa." Kita tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana. Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga penting untuk ditertawai dengan resah. 

Minggu, 20 Mei 2012

Revitalisasi Budaya Lokal


Kelik M. Nugroho
PEMILIK SITUS www.piringanhitam.com

Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna tradisi digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian lokal. Ada sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan berbawahan sarung bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan batang kayu di lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki dewasa berpakaian tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang pamanca). 
Namun yang paling penting justru ketika Maing, Ketua Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih. “Kepala desa terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami menerapkan nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,” kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri pada 10 Mei 2012. 

Minggu, 29 April 2012

Menimbang Metode Sokratik


Dion Pare
PEMINAT MASALAH PENDIDIKAN

Satu masalah yang sering mengemuka dalam pendidikan kita adalah bahwa para lulusan sekolah kita lebih merupakan manusia hafalan. Hal itu terjadi karena proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih banyak menekankan ceramah dan kurang demokratis. Para guru berbicara dan memberi tahu apa yang mereka ketahui kepada para murid, dan para murid harus mengingat setiap informasi itu. Potensi yang diandalkan dari pihak murid adalah kemampuan mengingat. Akibatnya, siswa kurang bebas mengembangkan pikiran dan gagasannya (Paul Suparno dalam J. Drost, 2006).
Persoalan-persoalan semacam itu bisa diatasi bila terjadi perubahan metode belajar dari kebiasaan menghafal ke kebiasaan tempat belajar berpikir (Buchori, 1995). Pengajaran atau tepatnya proses pembelajaran adalah proses menjadikan yang diajar belajar. Sebetulnya, tak seorang pun bisa dan pernah bisa menjadikan orang lain pandai. Hanya diri orang itu sendirilah yang dapat membuat dirinya pandai lewat belajar. Hanya orang itu sendirilah yang bertumbuh atas hal apa yang diketahuinya.

Minggu, 22 April 2012

Intelektual yang Tersisa


Dian Basuki
PEMINAT MASALAH SAINS

Setelah melewati periode tidur panjang, apa yang disebut sebagai "kebangunan (kembali) demokrasi" ternyata diwarnai oleh fenomena mencolok: hasrat luar biasa untuk menguasai sumber daya material. Bukan lagi kejanggalan, uang telah menjadi sumber daya kekuasaan yang mampu mengubah prinsip dan karakter. Para elite membutuhkan sumber daya material yang andal agar mampu menghadapi persaingan di antara mereka sendiri dan tantangan para oligark dalam memperebutkan kuasa politik. Mereka umumnya telah saling mengerti apa yang harus dilakukan untuk memperoleh sumber daya ini dalam waktu singkat.
Di tengah elu-elu atas pertumbuhan ekonomi, yang berbaur dengan korupsi yang terus menular bagai wabah dan keadilan sosio-ekonomi yang tak kunjung tegak, ke arah mana bangsa ini hendak menuju? Mungkinkah kita tengah kehilangan orientasi, berada dalam status disoriented society, lantaran kekaburan tentang apa yang harus menjadi pegangan di antara begitu banyaknya paradoks?

Minggu, 15 April 2012

Taman Bacaan Masyarakat 2.0

Agus M. Irkham

KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT


"Agama" baru telah lahir. Facebook namanya. Di Indonesia, ia dipeluk tak kurang dari 43,06 juta jiwa. Melebihi jumlah penduduk Kanada, yang hanya 33,2 juta jiwa (2011). Artinya, jumlah anggota jemaah "Facebookiyah" kita terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Dengan jumlah penduduk Indonesia 243 juta, praktis satu dari enam warga Indonesia memiliki satu akun di Facebook. 
Bagaimana dengan Twitter? Bak pinang tak berbelah. Di Indonesia, tak kurang dari 19,5 juta orang aktif menggunakannya. Dengan jumlah pengguna yang mendekati angka 20 juta jiwa itu, Indonesia tampil menjadi negara dengan jumlah pengguna Twitter terbesar kelima di dunia. Persis di bawah Inggris dengan 23,8 juta akun. 

Minggu, 08 April 2012

Surat, Demonstrasi, Puisi


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Nasib rezim kerap bergantung pada politik harga bahan bakar minyak (BBM). Narasi politik Orde Lama memuat soal harga sebagai pertaruhan utopia dan petaka. Mohamad Hatta dalam sepucuk surat (19 Januari 1962) untuk Sukarno menulis kalimat-kalimat sindiran: "Tiap pejabat negeri mendengung-dengungkan bahwa kita sedang menuju ke sosialisme.... Tujuan sosialisme ialah memurahkan ongkos rakyat. Berbagai tindakan pemerintah sebaliknya, memahalkan." Kontradiksi rezim Orde Lama diungkapkan Hatta sebagai ikhtiar mengingatkan Sukarno agar melakukan koreksi atas politik harga. 
Peringatan itu terus dilanjutkan oleh Hatta di ujung kekuasaan Sukarno. Hatta (1 Desember 1965) menerangkan: "Harga bensin Rp 4 seliter terlalu murah. Sejak dari 1961, saya sarankan kepada beberapa pejabat yang bersangkutan, supaya dinaikkan berangsur-angsur...." Saran itu diabaikan oleh pemerintah. Politik Orde Lama pun terus limbung oleh kegagalan mengurusi politik harga. Pemerintah justru semakin mengeruhkan politik atas nama "amanat penderitaan rakyat" dengan harga bensin 6,5 kali lipat. Politik harga bensin ini memicu kenaikan harga pelbagai kebutuhan pokok dan transportasi. Hatta mengajukan kritik keras dengan surat. Mahasiswa pun turut mengajukan kritik untuk menanggungkan petaka politik harga. Demonstrasi adalah jawaban ampuh atas ulah rezim.

Minggu, 01 April 2012

Jembatan Pendidikan dari Cerita

Afrizal Malna
PENYAIR

Di Dublin, Irlandia, sebuah jembatan didirikan. Nama jembatan itu diambil dari nama tokoh seorang penulis drama, yang pesona narasinya menguasai panggung-panggung teater hingga kini, yaitu Samuel Beckett. Jembatan ini melintasi Sungai Liffey, yang menghubungkan Sir John Rogerson's Quay dan North Wall Quay. Jembatan dirancang oleh Santiago Calatrava, dan diresmikan pada 10 Desember 2009.
Samuel Beckett Bridge merupakan bagian dari gerakan kota yang menggunakan kesenian sebagai imaji-imaji utamanya. Ia mengubah wajah militeristik kota, wajah yang terlalu berbau pemerintahan, kekuasaan, atau terlalu berbau bisnis, dengan imaji-imaji yang semakin menjauhkan diri dari nada agresi. Ia juga menjauhkan kota dari ikon-ikon konflik dan eksploitatif. Beckett adalah nama yang tidak berlebihan untuk jembatan seperti itu.

Minggu, 25 Maret 2012

Pemimpin Itu?


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Pemimpin itu perkara genting menjelang agenda membentuk negara Indonesia. Perkara pemimpin menjadi polemik. M.I.Sj. dalam Sinar Baru (31 Mei 1945) menulis ihwal usul pemunculan "maha-pemimpin" untuk menggerakkan dan memaknai Indonesia. Usul ini politis-fantastis: "Maha pemimpin perlu adanja! Maha pemimpin siapa pun juga orangnja--harus dijalankan segala perintahnja dengan setia! Maha pemimpin--bagaimanapun djuga--tak boleh kita cela. Sebab jakin dan percaja bahwa beliau tentu telah tahu djalannja. Lebih tahu dari kita! Djalan ke kebahagiaan nusa dan bangsa!" Harapan ini tampak berlebihan dan mengandung pengkultusan.
Seruan itu seolah mengarah ke sosok Sukarno. Tokoh ini telah tampil sebagai pemimpin untuk rakyat selama puluhan tahun. Sukarno itu mungkin "maha-pemimpin". Makna ketokohan Sukarno semakin mengental saat mengucapkan pidato dalam sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Sukarno membeberkan soal dasar-dasar negara untuk Indonesia. Sukarno saat itu eksplisit mengakui diri sebagai "pemimpin rakjat". Hari itu Sukarno menyuguhkan gagasan-gagasan memukau dalam sidang. Situasi di ruangan itu agak berbeda dengan kritik Siti di Sinar Baru (1 Juni 1945). Siti menampik seruan M.I.Sj soal "maha-pemimpin". Siti justru mengingatkan: "Salah satu rasa-rasa peninggalan masjarakat Hindia Belanda itu adalah anggapan bahwa pemimpin itu ialah orang jang harus dipudji-pudji, disembah-sembah, dihormati sebagai dewa atau manusia jang luar biasa. Anggapan itu salah belaka!" Polemik soal pemimpin di Sinar Baru itu sengit. Sosok Sukarno tampak sekali menjadi pokok polemik.

Minggu, 18 Maret 2012

Kewirausahaan dan Literasi

Agus M. Irkham
KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT

"Jangan bergabung ke barisan yang berpikir negatif dan pesimistis tetapi malas dan tidak mau bekerja apa pun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Satu Tahun Gerakan Kewirausahaan Nasional, di gedung Smesco UKM, Jakarta, Kamis (8 Maret).
Presiden mengajak kaum muda, baik yang tidak, sudah, akan, atau belum menjadi wirausaha, untuk mengikuti barisan yang optimistis, berjiwa terang, berpikiran positif, dan mau bekerja keras.
Ajakan Presiden SBY mendapatkan dasarnya jika dipertalikan dengan beberan angka jumlah wirausaha yang masih di bawah 2 persen serta pengangguran terdidik yang secara absolut selama 2005-2010 meningkat hingga 600 persen. Hingga muncul seloroh satiris: "Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat, buka salah satu jendelanya, dan meludahlah. Maka, dapat dipastikan ludah itu akan jatuh mengenai orang-orang di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena ludah itu adalah sarjana, pengangguran pula!" 

Minggu, 11 Maret 2012

Klik!


Geger Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

Seorang teman tiba-tiba menunjukkan telepon selulernya. "Ini," katanya sambil memperlihatkan tombol power, "adalah kekuasaan. Dengan ini, gue menentukan HP ini hidup atau mati." Mendengarnya, kami tersenyum seadanya. Candaan yang cukup cerdas. "Boleh juga," gumam saya sambil mengangguk-angguk, meski kami tak sampai terkekeh.
Dan memang benar. Siapa pun--yang penting mampu membeli komputer atau ponsel--boleh merasakan perasaan berkuasa itu. Jari menyentuh layar. Tampilan layar bergerak seiring dengan sapuan lembut kita. Satu tekanan enteng, dan kita tercebur dalam adegan-adegan unjuk rasa bergelora di Timur Tengah, yang baru saja diunggah fotografernya beberapa menit yang lalu. 

Minggu, 04 Maret 2012

Tonton Bukunya, Baca Filmnya


Mohammad Afifuddin
MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI FISIPOL UGM YOGYAKARTA

"Eh, si Oka Antara keren banget, ya. Cowok banget pokoknya. Gue banget gitu lho...he-he-he.." Cuplikan pembicaraan itu terdengar dari kerumunan beberapa perempuan yang merasa terpuaskan setelah menonton film Sang Penari: film yang diadaptasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Yang dimaksud Oka Antara adalah salah satu aktor yang memerankan tokoh Rasus: figur sentral--selain Srinthil--dalam novel dan film itu.
Banyak orang bilang, Oka luar biasa di film itu. Seperti diakuinya sendiri, butuh 2 tahun untuk benar-benar meresapi peran Rasus. Ia juga benar-benar diet ketat demi mendapatkan tampilan fisik ala Rasus yang diprofilkan sebagai pemuda desa yang kurus karena miskin dan bodoh. Bahkan, seusai berakting di film ini, Oka mengaku menolak semua tawaran peran untuk film lainnya. "Sepanjang karir akting, output peran ini yang saya rasa paling maksimal. Karenanya, saya butuh waktu jeda untuk refleksi dan evaluasi diri," kata Oka dalam sebuah wawancara di televisi.

Minggu, 26 Februari 2012

Maklumat Antipolitik!


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Partai politik itu "mesin kebohongan" dan "mesin korupsi". Sinisme ini muncul saat publik merasa mendapati dusta politik, moral, dan hukum dari partai politik. Pengharapan atas demokrasi justru pupus oleh ulah partai politik. Kaum politikus pun ada di arus deras uang dan melenggang di jalan kenistaan. Partai politik abai terhadap misi edukasi politik atau "keinsjafan politik" seperti seruan Mohamad Hatta (1946). Publik malah direpotkan oleh ulah kaum politikus saat mengumandangkan "politik bersetia". Agenda ini kerap demi popularitas diri, keselamatan jabatan, dan pragmatisme politis. Politik bersetia mengartikan iman untuk pemaknaan diri di partai politik ketimbang pengabdian demi misi demokrasi. Kondisi ini menistakan antusiasme publik dalam merawat demokrasi.
Samuel P. Huntington (1983) menjelaskan bahwa korupsi atas nama partai politik bisa "mengawetkan" sistem politik dari perombakan. Korupsi itu basis dari akumulasi dan kemapanan kekuasaan di bawah naungan partai politik. Kesejarahan partai politik sebagai instrumen modernisasi telah mengalami metamorfosis sebagai penjerat demokratisasi. Partai politik menghendaki sebagai sumber legitimasi dan otoritas meski melukai optimisme publik dalam selebrasi demokrasi. Penjelasan sarkastik itu bisa dijadikan acuan untuk membaca ulah partai politik di Indonesia saat mengartikan korupsi sebagai basis modal mengukuhkan otoritas (ilusif) di mata publik. Partai politik justru bergerak dengan puja uang ketimbang menjalankan amanah demokrasi.

Minggu, 19 Februari 2012

Ruang Publik Sebagai Budaya Pop


Buni Yani
PENELITI INSTITUTE OF CULTURAL ANTHROPOLOGY AND DEVELOPMENT SOCIOLOGY UNIVERSITAS LEIDEN, BELANDA, SEKARANG SEDANG MELAKUKANPENELITIAN MENGENAI BUDAYA POP DAN MODERNITAS

Modernitas, yang ditandai oleh gerak cepat sejarah, mengingatkan kita akan tesis Giddens yang menyebutkan bahwa modernitas itu kini lari tunggang-langgang, bahkan telah membuat nilai-nilai tradisional kocar-kacir tak tentu arah. Keserbacepatan ini sekaligus juga menandai lahirnya banalitas atau kedangkalan. Semua yang bergerak dalam ruang publik, untuk meminjam Habermas, seolah telah menjelma menjadi budaya pop yang hanya akan diingat sejenak karena penampakan luarnya yang menggiurkan. Tak ada isi, jauh dari permenungan yang mendalam, dan kadang kala menipu sedemikian rupa. Namun, ironisnya, orang kebanyakan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Ahli media dan sosiolog yakin benar bahwa semua ini sebagiannya disebabkan oleh digdayanya pengaruh media terhadap ruang publik dan masyarakat. Tanpa media, gerak cepat ini tak akan mengalami akselerasi sedemikian dahsyatnya, sampai-sampai masyarakat hanya mengingat kejadian-kejadian terbaru dan pada saat yang sama akan cepat melupakan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Sampai batas tertentu, masyarakat secara umum mengalami apa yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan sebagai amnesia kolektif, karena lebatnya hujan informasi yang menggempur terus-menerus tanpa henti.

Minggu, 05 Februari 2012

Tidak Terbit

Karena bertepatan dengan Maulid Nabi Muhamad SAW (libur nasional), Minggu 5 Februari 2012, Koran Tempo tidak terbit. Jadi tak ada "Ide" yang bisa diposting di sini.

Minggu, 29 Januari 2012

Perempuan dan Kutukan Segregasi

Ahmad Sahidah
PHD. DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA


Angkutan busway adalah satu jalan keluar untuk menjadikan Ibu Kota lebih ramah lingkungan. Dengan angkutan massal, warga Jakarta bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, yang tak hanya memboroskan bensin, tapi juga menyebabkan kemacetan, dan yang tak kalah dahsyatnya: menghambur-hamburkan bahan bakar dengan sia-sia. Kerugian dari kemacetan yang menyentuh angka triliunan rupiah seharusnya mengentak akal sehat kita dan pada gilirannya menuntut pemerintah serta wakil rakyat sungguh-sungguh memikirkan jalan keluar dan tindakan. Belum lagi tekanan akibat keadaan lalu lintas jalan raya yang macet telah turut menyumbang penurunan tingkat kenyamanan warga, dan pada gilirannya kejiwaan pribadi dan sosial mereka.
Pada waktu yang sama, usaha menjadikan angkutan umum moda transportasi yang nyaman ternyata turut menyumbang terjadinya tindak asusila, pelecehan seksual terhadap penumpang perempuan. Kejadian ini tentu hanya berlaku di negara-negara berkembang, karena di Barat sekalipun kita tak mendengar adanya pelecehan di angkutan umum. Betapa mereka menikmati angkutan umum tanpa terganggu, meskipun gerbong-gerbong kereta api dan badan bus dipenuhi penumpang. Adakah gagasan kebebasan perlu dipraktekkan di sini? Agar orang ramai tak lagi hanya memikirkan kebutuhan biologis, tapi merangkak pada keperluan yang lebih tinggi, semisal kasih sayang dan aktualisasi diri seperti diandaikan oleh Abraham Maslow dalam teori kebutuhan dasarnya. 

Minggu, 22 Januari 2012

Networked Science dan Politik Pengetahuan


Dian Basuki
PEMINAT MASALAH SAINS 


Revolusi digital yang tengah berlangsung mengirim arus perubahan ke segenap sudut kehidupan manusia. Pelaku ekonomi, bisnis, dan keuangan telah memetik banyak manfaat dari perubahan-perubahan yang dibawa oleh teknologi Internet. Aktivitas pendidikan, politik, dan banyak bidang lain juga memanfaatkan keunggulan yang ditawarkan teknologi digital ini. Sains tidak termasuk dalam pengecualian, bila pengecualian itu memang ada.
Kerja kolaboratif menjadi salah satu peluang yang ditawarkan Internet dalam kerangka menghimpun pengetahuan. Beberapa perusahaan multinasional sudah memanfaatkan Internet untuk membangun jejaring pengetahuan di lingkungan internal. Karyawan, manajer, serta para ahli di lingkungan perusahaan dapat bertukar ilmu dan pengalaman. Dalam memecahkan persoalan yang pelik, pekerja di Indonesia dapat meminta atau menerima saran dari karyawan lain yang bertugas di Meksiko atau Kanada.

Minggu, 15 Januari 2012

Menyambut Era Digital


Husein Ja'far al-Hadar
PEMINAT STUDI AGAMA DAN FILSAFAT

Sosok Steve Jobs yang begitu tenar dan fenomenal setahun terakhir ini secara tak langsung berperan besar dalam menyadarkan kita telah bergulirnya apa yang diprediksi Martin Heidegger (1950) sebagai gelombang revolusi teknologi. Deretan kabar mengejutkan dan kontroversial tentang salah seorang sosok paling penting di dunia digital itu, sejak kabar tentang sakitnya, yang disusul keputusan kontroversialnya untuk mengundurkan diri sebagai CEO Apple Inc, hingga tak lama setelah itu kabar kematiannya, merupakan rentetan kabar mengejutkan yang membuat kita "dipaksa" menyisakan perhatian untuk menyadari bahwa dunia kita berdiri saat ini sedang bergerak menuju era baru yang disebut era digital, dengan Steve Jobs sebagai salah satu tokoh pentingnya. Gelombang revolusi teknologi itu kini terlihat dalam proses digitalisasi yang terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan kita. Bahkan, saat ini di Jakarta, untuk memesan ojek sekalipun kita bisa melakukannya via perangkat digital. Dan pergerakannya sangat cepat. Hanya dibutuhkan waktu sekitar tiga dekade. Berbeda jauh, misalnya, dengan gelombang revolusi mesin uap ke pesawat terbang yang membutuhkan waktu dua setengah abad. 

Minggu, 08 Januari 2012

Berumah di Buku


Bandung Mawardi
AKTIVIS SASTRA

Orang-orang tergesa meramalkan masa depan buku (elektronik) sebelum rampung mengenangkan masa lalu buku (cetak). Umberto Eco, novelis asal Italia, mengaku sungkan membaca edisi buku elektronik karena bisa membuat mata rabun. Eco justru menghendaki terus menjalani ritus membaca buku cetak. Nostalgia, emosionalitas, sentimentalitas, dan aliran waktu kerap tersimpan di buku cetak. Eco mengandaikan diri menemukan buku masa kecil di gudang. Takjub, haru, dan keajaiban bakal teralami dalam tautan diri, buku, serta waktu. Eco (Tempo, 30 Oktober 2011) mengatakan, "Ada emosi bergerak di situ." 
Pemaknaan buku cetak oleh Eco ada di zaman kalap teknologi. Segala hal mengalami percepatan, perluasan, peringkasan, dan penggandaan oleh teknologi. Orang-orang mulai mendua untuk menerima buku dalam format cetak dan elektronik. Nalar teknologis memihak selebrasi buku elektronik dengan dalil pencanggihan medium, ruang, harga, tubuh, dan waktu. Puja teknologi melalui ejawantah buku elektronik memang mengagendakan selebrasi masif literasi di dunia, tapi perlahan bisa menghilangkan memori ajaib tentang manusia dan buku.