Minggu, 26 Februari 2012

Maklumat Antipolitik!


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Partai politik itu "mesin kebohongan" dan "mesin korupsi". Sinisme ini muncul saat publik merasa mendapati dusta politik, moral, dan hukum dari partai politik. Pengharapan atas demokrasi justru pupus oleh ulah partai politik. Kaum politikus pun ada di arus deras uang dan melenggang di jalan kenistaan. Partai politik abai terhadap misi edukasi politik atau "keinsjafan politik" seperti seruan Mohamad Hatta (1946). Publik malah direpotkan oleh ulah kaum politikus saat mengumandangkan "politik bersetia". Agenda ini kerap demi popularitas diri, keselamatan jabatan, dan pragmatisme politis. Politik bersetia mengartikan iman untuk pemaknaan diri di partai politik ketimbang pengabdian demi misi demokrasi. Kondisi ini menistakan antusiasme publik dalam merawat demokrasi.
Samuel P. Huntington (1983) menjelaskan bahwa korupsi atas nama partai politik bisa "mengawetkan" sistem politik dari perombakan. Korupsi itu basis dari akumulasi dan kemapanan kekuasaan di bawah naungan partai politik. Kesejarahan partai politik sebagai instrumen modernisasi telah mengalami metamorfosis sebagai penjerat demokratisasi. Partai politik menghendaki sebagai sumber legitimasi dan otoritas meski melukai optimisme publik dalam selebrasi demokrasi. Penjelasan sarkastik itu bisa dijadikan acuan untuk membaca ulah partai politik di Indonesia saat mengartikan korupsi sebagai basis modal mengukuhkan otoritas (ilusif) di mata publik. Partai politik justru bergerak dengan puja uang ketimbang menjalankan amanah demokrasi.

Minggu, 19 Februari 2012

Ruang Publik Sebagai Budaya Pop


Buni Yani
PENELITI INSTITUTE OF CULTURAL ANTHROPOLOGY AND DEVELOPMENT SOCIOLOGY UNIVERSITAS LEIDEN, BELANDA, SEKARANG SEDANG MELAKUKANPENELITIAN MENGENAI BUDAYA POP DAN MODERNITAS

Modernitas, yang ditandai oleh gerak cepat sejarah, mengingatkan kita akan tesis Giddens yang menyebutkan bahwa modernitas itu kini lari tunggang-langgang, bahkan telah membuat nilai-nilai tradisional kocar-kacir tak tentu arah. Keserbacepatan ini sekaligus juga menandai lahirnya banalitas atau kedangkalan. Semua yang bergerak dalam ruang publik, untuk meminjam Habermas, seolah telah menjelma menjadi budaya pop yang hanya akan diingat sejenak karena penampakan luarnya yang menggiurkan. Tak ada isi, jauh dari permenungan yang mendalam, dan kadang kala menipu sedemikian rupa. Namun, ironisnya, orang kebanyakan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Ahli media dan sosiolog yakin benar bahwa semua ini sebagiannya disebabkan oleh digdayanya pengaruh media terhadap ruang publik dan masyarakat. Tanpa media, gerak cepat ini tak akan mengalami akselerasi sedemikian dahsyatnya, sampai-sampai masyarakat hanya mengingat kejadian-kejadian terbaru dan pada saat yang sama akan cepat melupakan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Sampai batas tertentu, masyarakat secara umum mengalami apa yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan sebagai amnesia kolektif, karena lebatnya hujan informasi yang menggempur terus-menerus tanpa henti.

Minggu, 05 Februari 2012

Tidak Terbit

Karena bertepatan dengan Maulid Nabi Muhamad SAW (libur nasional), Minggu 5 Februari 2012, Koran Tempo tidak terbit. Jadi tak ada "Ide" yang bisa diposting di sini.