Agus M.
Irkham
KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT
"Jangan bergabung ke barisan yang
berpikir negatif dan pesimistis tetapi malas dan tidak mau bekerja apa
pun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Satu Tahun
Gerakan Kewirausahaan Nasional, di gedung Smesco UKM, Jakarta, Kamis (8 Maret).
Presiden
mengajak kaum muda, baik yang tidak, sudah, akan, atau belum menjadi wirausaha,
untuk mengikuti barisan yang optimistis, berjiwa terang, berpikiran positif,
dan mau bekerja keras.
Ajakan
Presiden SBY mendapatkan dasarnya jika dipertalikan dengan beberan angka jumlah
wirausaha yang masih di bawah 2 persen serta pengangguran terdidik yang secara
absolut selama 2005-2010 meningkat hingga 600 persen. Hingga muncul seloroh
satiris: "Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat, buka salah satu
jendelanya, dan meludahlah. Maka, dapat dipastikan ludah itu akan jatuh
mengenai orang-orang di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena
ludah itu adalah sarjana, pengangguran pula!"
Penuh paradoks
Meskipun
begitu, pada waktu yang berbarengan pula ajakan Presiden SBY tersebut lebih
terdengar sebagai upaya menggiring kaum muda ke situasi penuh paradoks. Perlu
"kegilaan" tersendiri untuk memilih jalan hidup sebagai wirausaha di
tengah maraknya (dugaan) praktek hina (baca: korupsi) yang dilakukan terutama
oleh kaum muda. Dimulai dari kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, Dhana
Widyatmika, hingga Angelina Sondakh. Sampai-sampai ada celetukan: mumpung masih
muda, korupsilah!
Dilihat
dari segi manajemen pemerintahan, tentu saja fakta di atas dapat dibaca sebagai
bentuk ironi atas ajakan untuk selalu optimistis dan berpikir positif. Mengajak
optimistis, tapi terus "memproduksi" bertumpuk apatisme. Betul bahwa
masalah klasik dan klise pembangunan adalah pengangguran dan kemiskinan. Dan
keduanya dapat diatasi, salah satunya dengan mendorong kaum untuk berwirausaha,
menjadi pengusaha, menciptakan lapangan kerja minimal buat dirinya sendiri.
Tapi, yang harus diingat pula, peta kekuasaan politik di Indonesia yang
cenderung oligopolis juga ditentukan oleh "hubungan gelap" antara
pemilik kuasa politik dan pemilik kuasa modal (wirausaha)--beberapa waktu
lampau sinyalemen ini pernah diungkapkan oleh Sri Mulyani (mantan Menteri
Keuangan).
Hubungan
gelap itu pula yang telah banyak membuat segala bentuk potensi kebaikan yang
bisa dilahirkan dari praktek kehidupan berdemokrasi, keleluasaan berusaha, dan
kesamaan hak di depan hukum jadi invalid semua. Maka, menjadi pekerjaan rumah
tersendiri buat calon wirausaha untuk tidak hanya mengukuhkan perolehan profit ekonomi,
tapi juga benefit sosial. Bentuk manfaat sosial tersebut
adalah berupa kesadaran untuk tetap berlaku bersih dan jujur. Tidak melakukan
patgulipat keuangan, alih-alih melantaskan akrobat akuntansi. Dan semua ikhtiar
itu didorong oleh dasar cinta tanah air, membangun negerinya agar sejahtera dan
bermartabat.
Kesadaran
mencintai tanah air dengan C besar ini, oleh Tan Malaka dalam trilogi Dari
Penjara ke Penjara, dikatakan: "Barang siapa sungguh menghendaki
kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap dan ikhlas buat menderita.
Kehilangan kemerdekaan diri sendiri." Kemerdekaan bisa diartikan
terbukanya kesempatan bagi semua orang untuk hidup tenang, terjamin ekonominya,
dan dapat melangsungkan eksistensi dirinya di pergaulan sosial keseharian.
Sedangkan frasa kehilangan kemerdekaan dapat dimaknai sebagai bentuk keikhlasan
untuk tidak mengkonsumsi produk melebihi kebutuhannya, serta tidak bergaya
hidup mewah. Termasuk kerelaan kehilangan kemerdekaan diri untuk melakukan
korupsi dan tindakan melanggar hukum.
Keaksaraan wirausaha
Salah satu
ikhtiar menggarap diri agar kelak tidak menjadi wirausaha "hitam"
adalah dengan menjadikan figur-figur kunci di bidang bisnis yang sudah dikenal
sebagai sosok wirausaha "putih" sebagai mentor atau master mind.
Baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang. Baik dengan belajar langsung
maupun melalui perantara buku.
Tetapi,
tidak berlebihankah menahbiskan buku dapat memberi pengaruh besar pada
pembacanya (calon wirausaha)? "Pena (buku, teks) mungkin dapat
menyombongkan diri lebih tajam daripada pedang," kata Andrew Taylor di
lembar kata pengantar bukunya, Buku-buku yang Mengubah Dunia (2011).
Namun, untuk jangka pendek, umumnya pedang yang menang," Taylor
melanjutkan. Hanya, yang patut diingat dalam pergerakan arus sejarah yang
panjang, buku dan ide-ide yang dituangkan di dalamnya telah mengubah tiap diri
dan masyarakat.
Angin yang
membawa pertalian antara buku dan jiwa kewirausahaan ini juga tengah berembus
kencang di komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Desentralisasi
di bidang penadbiran pemerintah ternyata juga berimbas pula pada proses
berlangsungnya desentralisasi model pengelolaan komunitas literasi dan TBM:
desentralisasi literasi. Bentuk desentralisasi itu dimulai dari penamaan
komunitas dan TBM yang kental dengan idiom-idiom lokal, program yang dijalankan
yang disesuaikan dengan irisan terbesar kebutuhan masyarakat sekitar, hingga
isi buku yang dilayankan. Semua dirancang dan dijalankan secara otonom, tidak
berkiblat pada pusat (Jakarta).
Kini tidak
sedikit TBM dan komunitas literasi yang mengoleksi bahan bacaan, terutama buku
tentang kewirausahaan: kisah sukses pengusaha, tip berwirausaha, hingga
motivasi bisnis. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga memiliki unit usaha
yang diposisikan sebagai profit centre, serta menjadi laboratorium
inkubasi keaksaraan fungsional-wirausaha berbasis jaringan komunitas.
Tobucil di
Kota Bandung dengan klub merajutnya, Sudut Baca Soreang, di Kabupaten Bandung,
dengan produksi kerajinan tangan berbahan dasar sampah dapur rumah tangga;
Cakruk Pintar di Yogyakarta dengan kelas menulis, agen tiket pesawat, pijat
refleksi, dan kolam pemancingan ikannya; serta Rumah Dunia di Serang, Banten,
dengan penerbitannya, dapat saya ajukan sebagai contoh wirausaha berbasis
jaringan komunitas.
Terakhir,
tema kewirausahaan dalam konteks desentralisasi literasi, saya kira segendang-sepenarian
dengan nubuat yang pernah dilontarkan Jaya Suprana dalam esai berjudul Buku:
Sebuah Kontemplasi (2007): "Yang utama sebenarnya bukan membaca,
melainkan mengerti makna sebuah buku, kemudian didayagunakan untuk satu langkah
karsa dan nyata produktif dan konstruktif." [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 18 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar