Geger
Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS
INDONESIA
Seorang teman tiba-tiba menunjukkan
telepon selulernya. "Ini," katanya sambil memperlihatkan tombol power,
"adalah kekuasaan. Dengan ini, gue menentukan HP ini
hidup atau mati." Mendengarnya, kami tersenyum seadanya. Candaan yang
cukup cerdas. "Boleh juga," gumam saya sambil mengangguk-angguk,
meski kami tak sampai terkekeh.
Dan memang
benar. Siapa pun--yang penting mampu membeli komputer atau ponsel--boleh
merasakan perasaan berkuasa itu. Jari menyentuh layar. Tampilan layar bergerak
seiring dengan sapuan lembut kita. Satu tekanan enteng, dan kita tercebur dalam
adegan-adegan unjuk rasa bergelora di Timur Tengah, yang baru saja diunggah
fotografernya beberapa menit yang lalu.
Satu
tekanan enteng lagi, dan kita melihat atap rumah kita sendiri dan atap-atap
rumah para tetangga dari citraan radar NASA. Satu tekanan enteng lagi, dan kita
mendadak terbelalak atau menahan mual: kekerasan sadistis aparat di belahan
lain negeri ini berlangsung tepat di depan mata kita.
Rasakanlah
kekuatan magis seperti mengalir keluar lewat sentuhan tangan kita. Kita ikut
mengalami peristiwa di tempat yang jauh tanpa perlu bergerak bahkan sejengkal.
Bahkan ini adalah masa ketika keputusan-keputusan vital dieksekusi dengan
sentuhan-sentuhan kecil. Klik. E-mail penting terkirim kepada
klien--bisa jadi jawaban silap yang merusak kesempatan meraih proyek ratusan
juta rupiah. Klik. Bisa jadi kita mengirim sesuatu yang menghancurkan masa
depan kita.
Dan kalau
kita kilas balik film-film Hollywood yang pernah kita tonton, bukankah samar-samar
kita bisa mengingat adegan-adegan ketika sebuah sentuhan menentukan segalanya?
Pada film Armageddon, misalnya, tombol peledak asteroid raksasa yang akan
menghantam bumi terlempar dari tangan sang tokoh utama pada detik-detik yang
menentukan. Para penonton menahan napas. Kegagalan menekan pelatuk berarti
kepunahan seluruh kehidupan di muka bumi.
Inilah era
kita--era ketika sentuhan-sentuhan ringan manusia menjadi penggerak dunia. Era
klik, sebut saja begitu. Tapi inilah pertanyaan penting untuk membantu kita
memahami dengan lebih jernih ranah tempat kita berdiri sekarang ini:
jangan-jangan, justru kini manusia dihitung semata dari sentuhannya?
Bisa jadi.
Sebelum terpana oleh keajaiban dan kespektakuleran era klik, bagaimana kalau
kita mendirikan benteng berupa sebuah sikap curiga: jangan-jangan keberadaan
saya hanya sebatas jari-jari yang mengetik dan pikiran yang mengolah
informasi--bukan selaku suatu kehadiran yang utuh.
Toh, inilah
pekerjaan idaman di kota-kota besar sekarang: berkantor dan menjadi sesosok
tubuh kecil yang disekap di antara sekat-sekat bersama seperangkat komputer.
Anda cukup duduk, bergeming, dan biarkan jari-jari Anda mengerjakan kebutuhan
perusahaan Anda. Dan kemewahan yang kita dambakan hari-hari ini tak lain dari
memiliki ponsel canggih untuk tenggelam dalam samudra data para kawan dan
ratusan juta orang lainnya bernama Facebook, Twitter, dan lain-lain.
Melibatkan
diri dalam dunia sosial pun kini identik dengan meleburkan diri menjadi
gumpalan data berupa "status", "kicauan", atau
"komentar". Adakah pada jejaring sosial di Internet kita hadir selain
sebagai daya mengetik yang diasumsikan ada sebagai jalinan organ kemanusiaan
yang lengkap? (Ah, tapi kecurigaan ini mungkin terlalu jauh.)
Pernah,
Julio Cortazar, dalam sebuah cerita pendeknya, membayangkan pada sebuah Senin,
ia melihat telinga-telinga berduyun-duyun bergegas menuju kantor. Pada sebuah
Selasa, berganti, para arloji mengambang di atas meja-meja kantor.
"Kemampuan untuk berabstraksi yang patut dibanggakan," ujar aku lirik
dalam cerita dengan nada humor, yang menabalkan cerita ini sebagai simbolisme
komikal yang menyambar kehidupan urban yang monolitik.
Mungkin
Anda juga sedang membayangkan hal yang sama dengan saya. Ya, organ-organ pada
narasi Cortazar tersebut hari ini bisa digantikan dengan tangan-tangan yang
mengambang di udara, bergerak ke kantor, mengetik, lalu pulang, memegang
ponsel, dan bersenang-senang dalam dunia maya.
Setiap era
mempunyai citra manusia idealnya, dan pada era modernisme keras ini, sang insan
ideal ialah ia--gumpalan energi--yang menggerakkan data elektronik dengan cakap
dan efektif; sungguh, ini sebenarnya sasaran empuk para seniman surealis.
Mungkin, memang, hanya dengan menempatkan manusia sebagai arus data dan
informasi yang melesat kilat, 7 miliar manusia yang tersebar di berbagai
belahan dapat tetap terikat dalam satu gerak besar bersama.
Dengan
begini, anak di negara-negara Eropa ataupun negara-negara melarat dapat
memiliki idola yang sama: idola yang sama-sama tak pernah mereka endus baunya,
mereka salami tangannya, atau bahkan mereka rasakan kehadirannya dalam ruang
yang sama. Baik bagi bocah-bocah di New York maupun di Jawa, kini, sang idola
didapat lewat proses yang serupa--dengan melompat ke atas gugusan data dan
membiarkan diri hanyut dalam labirin narasi yang terbangun di dalamnya.
Membayangkan
dunia kita dalam perspektif ini terkadang mendatangkan perasaan yang sama
dengan yang saya dapati ketika menonton film Matrix. Masa
mendatang, dalam gambaran film ini, lebih mengerikan daripada lukisan-lukisan
horor. Umat manusia dijadikan energi bagi para robot; miliaran manusia ditaruh
di dalam tabung, disambungkan ke kabel-kabel, dan sementara listrik dari tubuh
mereka diperah, kesadaran mereka diisap ke dalam realitas buatan yang sudah
selayaknya kehidupan sebenarnya.
Tentu saja
saya kelewatan kalau sampai meyakini visi distopis film Matrix,
tapi perasaan deja vu saya tak sepenuhnya keliru karena memang ada
gejala yang serupa di antara film tersebut dengan apa yang sedang kita alami.
Gerak dan keberadaan jasmani seseorang semakin lama semakin tak berarti. Dan
teknologi adalah kabel-kabel yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam
hidup, meski gerak-geriknya tersekap dalam sebuah tabung.
Dan
manusia--urban, khususnya--kian kemari kian menjelma menjadi suatu makhluk yang
baru: daya penggerak informasi. Mencemaskan? Mungkin. Tapi, bisa jadi, bagi
beberapa pihak, inilah evolusi. Saya tak akan menilainya. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 11 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar