Minggu, 11 Maret 2012

Klik!


Geger Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

Seorang teman tiba-tiba menunjukkan telepon selulernya. "Ini," katanya sambil memperlihatkan tombol power, "adalah kekuasaan. Dengan ini, gue menentukan HP ini hidup atau mati." Mendengarnya, kami tersenyum seadanya. Candaan yang cukup cerdas. "Boleh juga," gumam saya sambil mengangguk-angguk, meski kami tak sampai terkekeh.
Dan memang benar. Siapa pun--yang penting mampu membeli komputer atau ponsel--boleh merasakan perasaan berkuasa itu. Jari menyentuh layar. Tampilan layar bergerak seiring dengan sapuan lembut kita. Satu tekanan enteng, dan kita tercebur dalam adegan-adegan unjuk rasa bergelora di Timur Tengah, yang baru saja diunggah fotografernya beberapa menit yang lalu. 
Satu tekanan enteng lagi, dan kita melihat atap rumah kita sendiri dan atap-atap rumah para tetangga dari citraan radar NASA. Satu tekanan enteng lagi, dan kita mendadak terbelalak atau menahan mual: kekerasan sadistis aparat di belahan lain negeri ini berlangsung tepat di depan mata kita.
Rasakanlah kekuatan magis seperti mengalir keluar lewat sentuhan tangan kita. Kita ikut mengalami peristiwa di tempat yang jauh tanpa perlu bergerak bahkan sejengkal. Bahkan ini adalah masa ketika keputusan-keputusan vital dieksekusi dengan sentuhan-sentuhan kecil. Klik. E-mail penting terkirim kepada klien--bisa jadi jawaban silap yang merusak kesempatan meraih proyek ratusan juta rupiah. Klik. Bisa jadi kita mengirim sesuatu yang menghancurkan masa depan kita. 
Dan kalau kita kilas balik film-film Hollywood yang pernah kita tonton, bukankah samar-samar kita bisa mengingat adegan-adegan ketika sebuah sentuhan menentukan segalanya? Pada film Armageddon, misalnya, tombol peledak asteroid raksasa yang akan menghantam bumi terlempar dari tangan sang tokoh utama pada detik-detik yang menentukan. Para penonton menahan napas. Kegagalan menekan pelatuk berarti kepunahan seluruh kehidupan di muka bumi.
Inilah era kita--era ketika sentuhan-sentuhan ringan manusia menjadi penggerak dunia. Era klik, sebut saja begitu. Tapi inilah pertanyaan penting untuk membantu kita memahami dengan lebih jernih ranah tempat kita berdiri sekarang ini: jangan-jangan, justru kini manusia dihitung semata dari sentuhannya?
Bisa jadi. Sebelum terpana oleh keajaiban dan kespektakuleran era klik, bagaimana kalau kita mendirikan benteng berupa sebuah sikap curiga: jangan-jangan keberadaan saya hanya sebatas jari-jari yang mengetik dan pikiran yang mengolah informasi--bukan selaku suatu kehadiran yang utuh.
Toh, inilah pekerjaan idaman di kota-kota besar sekarang: berkantor dan menjadi sesosok tubuh kecil yang disekap di antara sekat-sekat bersama seperangkat komputer. Anda cukup duduk, bergeming, dan biarkan jari-jari Anda mengerjakan kebutuhan perusahaan Anda. Dan kemewahan yang kita dambakan hari-hari ini tak lain dari memiliki ponsel canggih untuk tenggelam dalam samudra data para kawan dan ratusan juta orang lainnya bernama Facebook, Twitter, dan lain-lain.
Melibatkan diri dalam dunia sosial pun kini identik dengan meleburkan diri menjadi gumpalan data berupa "status", "kicauan", atau "komentar". Adakah pada jejaring sosial di Internet kita hadir selain sebagai daya mengetik yang diasumsikan ada sebagai jalinan organ kemanusiaan yang lengkap? (Ah, tapi kecurigaan ini mungkin terlalu jauh.)
Pernah, Julio Cortazar, dalam sebuah cerita pendeknya, membayangkan pada sebuah Senin, ia melihat telinga-telinga berduyun-duyun bergegas menuju kantor. Pada sebuah Selasa, berganti, para arloji mengambang di atas meja-meja kantor. "Kemampuan untuk berabstraksi yang patut dibanggakan," ujar aku lirik dalam cerita dengan nada humor, yang menabalkan cerita ini sebagai simbolisme komikal yang menyambar kehidupan urban yang monolitik.
Mungkin Anda juga sedang membayangkan hal yang sama dengan saya. Ya, organ-organ pada narasi Cortazar tersebut hari ini bisa digantikan dengan tangan-tangan yang mengambang di udara, bergerak ke kantor, mengetik, lalu pulang, memegang ponsel, dan bersenang-senang dalam dunia maya.
Setiap era mempunyai citra manusia idealnya, dan pada era modernisme keras ini, sang insan ideal ialah ia--gumpalan energi--yang menggerakkan data elektronik dengan cakap dan efektif; sungguh, ini sebenarnya sasaran empuk para seniman surealis. Mungkin, memang, hanya dengan menempatkan manusia sebagai arus data dan informasi yang melesat kilat, 7 miliar manusia yang tersebar di berbagai belahan dapat tetap terikat dalam satu gerak besar bersama.
Dengan begini, anak di negara-negara Eropa ataupun negara-negara melarat dapat memiliki idola yang sama: idola yang sama-sama tak pernah mereka endus baunya, mereka salami tangannya, atau bahkan mereka rasakan kehadirannya dalam ruang yang sama. Baik bagi bocah-bocah di New York maupun di Jawa, kini, sang idola didapat lewat proses yang serupa--dengan melompat ke atas gugusan data dan membiarkan diri hanyut dalam labirin narasi yang terbangun di dalamnya.
Membayangkan dunia kita dalam perspektif ini terkadang mendatangkan perasaan yang sama dengan yang saya dapati ketika menonton film Matrix. Masa mendatang, dalam gambaran film ini, lebih mengerikan daripada lukisan-lukisan horor. Umat manusia dijadikan energi bagi para robot; miliaran manusia ditaruh di dalam tabung, disambungkan ke kabel-kabel, dan sementara listrik dari tubuh mereka diperah, kesadaran mereka diisap ke dalam realitas buatan yang sudah selayaknya kehidupan sebenarnya.
Tentu saja saya kelewatan kalau sampai meyakini visi distopis film Matrix, tapi perasaan deja vu saya tak sepenuhnya keliru karena memang ada gejala yang serupa di antara film tersebut dengan apa yang sedang kita alami. Gerak dan keberadaan jasmani seseorang semakin lama semakin tak berarti. Dan teknologi adalah kabel-kabel yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam hidup, meski gerak-geriknya tersekap dalam sebuah tabung.
Dan manusia--urban, khususnya--kian kemari kian menjelma menjadi suatu makhluk yang baru: daya penggerak informasi. Mencemaskan? Mungkin. Tapi, bisa jadi, bagi beberapa pihak, inilah evolusi. Saya tak akan menilainya. [*]

Sumber: Koran Tempo Minggu, 11 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar