Bandung
Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Pemimpin itu perkara genting menjelang
agenda membentuk negara Indonesia. Perkara pemimpin menjadi polemik. M.I.Sj.
dalam Sinar Baru (31 Mei 1945) menulis ihwal usul pemunculan
"maha-pemimpin" untuk menggerakkan dan memaknai Indonesia. Usul ini
politis-fantastis: "Maha pemimpin perlu adanja! Maha pemimpin siapa pun
juga orangnja--harus dijalankan segala perintahnja dengan setia! Maha pemimpin--bagaimanapun
djuga--tak boleh kita cela. Sebab jakin dan percaja bahwa beliau tentu telah
tahu djalannja. Lebih tahu dari kita! Djalan ke kebahagiaan nusa dan
bangsa!" Harapan ini tampak berlebihan dan mengandung pengkultusan.
Seruan itu
seolah mengarah ke sosok Sukarno. Tokoh ini telah tampil sebagai pemimpin untuk
rakyat selama puluhan tahun. Sukarno itu mungkin "maha-pemimpin".
Makna ketokohan Sukarno semakin mengental saat mengucapkan pidato dalam sidang
BPUPKI (1 Juni 1945). Sukarno membeberkan soal dasar-dasar negara untuk
Indonesia. Sukarno saat itu eksplisit mengakui diri sebagai "pemimpin
rakjat". Hari itu Sukarno menyuguhkan gagasan-gagasan memukau dalam
sidang. Situasi di ruangan itu agak berbeda dengan kritik Siti di Sinar
Baru (1 Juni 1945). Siti menampik seruan M.I.Sj soal
"maha-pemimpin". Siti justru mengingatkan: "Salah satu rasa-rasa
peninggalan masjarakat Hindia Belanda itu adalah anggapan bahwa pemimpin itu
ialah orang jang harus dipudji-pudji, disembah-sembah, dihormati sebagai dewa
atau manusia jang luar biasa. Anggapan itu salah belaka!" Polemik soal
pemimpin di Sinar Baru itu sengit. Sosok Sukarno tampak sekali
menjadi pokok polemik.
Episode
sejarah itu seolah mengingatkan kita akan krisis pemimpin Indonesia di abad
XXI. Rakyat sulit mencari pemimpin. Rakyat sekadar mengimpikan pemimpin saat
Indonesia menapaki jalan suram yang disebabkan oleh perilaku buruk para elite
politik. Harapan atas pemimpin (hampir) tak bereferensi. Partai politik tak
bisa menjadi sandaran. Indonesia justru merana oleh kebinalan dan arogansi
partai politik. Para pemimpin memang terus dilahirkan oleh partai politik, tapi
"karbitan", "gadungan", "karatan". Mereka
ambisius menjadi pemimpin tanpa mengejawantahkan keluhuran politik dan
pengabdian atas nama rakyat.
Krisis dan
ilusi para pemimpin ini pernah menjadi pokok seruan Hamka dalam esai
"Pemimpin dan Pimpinan" di majalah Hikmah (20
Februari 1954, No. 8 Tahun VII). Hamka menulis: "Pemimpin sedjati
dipandang patut, tetapi dialah jang merasa takut. Sebab jang diingatnja ialah
tanggung djawab. Tetapi jang penuh ambisi, mulailah beraksi!" Seruan Hamka
itu masih berlaku untuk hari ini, karena para pemimpin rajin berbohong dan
kehilangan rasa malu. Mereka kebal terhadap kritik. Mereka abai amanah, tapi
mengumbar serakah kekuasaan dan uang. Ambisi menjadi pemimpin pun mulai
bergerak ke arah politik picisan. Mereka bersaing "mengiklankan diri"
di televisi, koran, majalah, radio, poster. Amalan untuk menjadi pemimpin mirip
dramaturgi picisan ala industri hiburan.
Pemimpin
kita lahir dari rahim partai politik. Pemimpin sejak mula memiliki beban
politik balas budi demi partai politik. Nalar ini kerap mengalahkan misi untuk
rakyat. Partai politik pun menjelma pabrik. Agenda politik memerlukan modal dan
legitimasi demi pemunculan pemimpin. Basis kelahiran pemimpin dari rahim partai
politik rentan manipulasi dan candu imaji, ketimbang etos untuk mengabdi atas
nama titah rakyat. Kondisi ini mengakibatkan pemimpin lulusan partai politik
saat ada di tampuk kekuasaan alpa lakon pengharapan dan kritik rakyat. Mereka
pun mengebalkan diri dari kritik dan menulikan diri agar tak mengerti
rintihan-keluhan rakyat.
Gejala ini
sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Bujung Saleh (1952) mengucap dalam
simposium tentang "kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang" di
Jakarta: "Tjobalah batja koran-koran kita. Sedjak 1945 berulang-ulang
ditulis kritik terhadap pemimpin, sekian sering, sehingga rakjat bosan membatja
kritik ini sekarang. Sementara itu kaum pemimpin sudah mendjadi kebal...."
Babak-babak sejarah politik kita memang memiliki para pemimpin kebal kritik.
Bujung Saleh menghendaki agar para pemimpin mementingkan zelf-controle dan zelf
kritik. Agenda melihat diri sendiri secara kritis itu keharusan!
Mawas diri
dan kritik diri itu hampir tak tampak pada para pemimpin Indonesia sekarang.
Mereka justru lihai berkelit dan berbohong dari pelbagai sangkaan dan kritik.
Mereka tak mau disalahkan atau dijatuhkan. Mereka kerap kalap dan mengidap
pemujaan terhadap uang-kekuasaan-popularitas. Realitas politik ini mendapat
kritik kultural dari Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Filsuf dan petani Jawa
ini mengumumkan ajaran tentang pangawikan pribadi (ilmu untuk
mengetahui rasa diri sendiri). Pangawikan pribadi ini basis
etos-mentalitas untuk tak jatuh dalam jerat semat, drajat, kramat (uang,
kekuasaan, popularitas). Pemimpin memerlukan kesanggupan melihat diri dan
mengamalkan diri atas nama kebersahajaan bersama rakyat.
Ajaran itu
seolah tersimpan di buku-buku lawas berdebu. Pemimpin politik kita saat ini
justru menistakan pengharapan rakyat demi pemujaan terhadap diri sendiri dan
narsisisme politik. Sejarah pemimpin kita berlumuran aib ketimbang keluhuran
politik. Pemimpin pun seperti monster dalam imajinasi paling buruk di jagat
politik Indonesia. Pemimpin jarang memberi kelegaan tapi rajin menimbulkan
lara, petaka, nelangsa. Kita mungkin sudah ada dalam derajat traumatik pemimpin
politik.
Partai-partai
politik sebagai rahim para pemimpin semakin tampak bobrok dan amburadul. Kita
mulai dihinggapi rasa muak dan mual untuk turut mengurusi partai politik dan
kerapuhan etos para pemimpin politik. Imajinasi akan pemimpin mulai jatuh ke
kubangan aib dan dusta. Ingatan atas polemik soal pemimpin menjelang
pembentukan negara Indonesia dan situasi politik mutakhir sesak oleh
catatan-catatan kelam. Kita pun termangu saat menonton para pemimpin
mengkultuskan diri atau menjajakan diri agar mendapati mandat menggerakkan
Indonesia. Mereka sedang memerankan diri sebagai aktor buruk dalam tragedi
politik. Para pemimpin itu menggoda kita untuk menanggungkan derita-derita
Indonesia. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 25 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar