Minggu, 27 Mei 2012

Menertawai Korupsi


M. Fauzi Sukri
MAHASISWA KAJIAN AMERIKA UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak ada, kataku dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad perihal subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk ditertawai. Saat semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk mencegah, menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan korupsi tak henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita sedang menghadapi diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual dengan mulut besar menganga. 
Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini, kita sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus sampai di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan Goenawan Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa." Kita tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana. Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga penting untuk ditertawai dengan resah. 

Minggu, 20 Mei 2012

Revitalisasi Budaya Lokal


Kelik M. Nugroho
PEMILIK SITUS www.piringanhitam.com

Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna tradisi digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian lokal. Ada sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan berbawahan sarung bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan batang kayu di lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki dewasa berpakaian tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang pamanca). 
Namun yang paling penting justru ketika Maing, Ketua Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih. “Kepala desa terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami menerapkan nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,” kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri pada 10 Mei 2012.