Minggu, 19 Februari 2012

Ruang Publik Sebagai Budaya Pop


Buni Yani
PENELITI INSTITUTE OF CULTURAL ANTHROPOLOGY AND DEVELOPMENT SOCIOLOGY UNIVERSITAS LEIDEN, BELANDA, SEKARANG SEDANG MELAKUKANPENELITIAN MENGENAI BUDAYA POP DAN MODERNITAS

Modernitas, yang ditandai oleh gerak cepat sejarah, mengingatkan kita akan tesis Giddens yang menyebutkan bahwa modernitas itu kini lari tunggang-langgang, bahkan telah membuat nilai-nilai tradisional kocar-kacir tak tentu arah. Keserbacepatan ini sekaligus juga menandai lahirnya banalitas atau kedangkalan. Semua yang bergerak dalam ruang publik, untuk meminjam Habermas, seolah telah menjelma menjadi budaya pop yang hanya akan diingat sejenak karena penampakan luarnya yang menggiurkan. Tak ada isi, jauh dari permenungan yang mendalam, dan kadang kala menipu sedemikian rupa. Namun, ironisnya, orang kebanyakan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Ahli media dan sosiolog yakin benar bahwa semua ini sebagiannya disebabkan oleh digdayanya pengaruh media terhadap ruang publik dan masyarakat. Tanpa media, gerak cepat ini tak akan mengalami akselerasi sedemikian dahsyatnya, sampai-sampai masyarakat hanya mengingat kejadian-kejadian terbaru dan pada saat yang sama akan cepat melupakan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Sampai batas tertentu, masyarakat secara umum mengalami apa yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan sebagai amnesia kolektif, karena lebatnya hujan informasi yang menggempur terus-menerus tanpa henti.

Ini fenomena global ras manusia kini yang tidak hanya terjadi di pusat-pusat modernitas lama, seperti Eropa dan Amerika, namun juga telah melanda lokalitas modern baru negara-negara di Asia. Pencitraan media kini menjadi kewajiban bagi siapa pun yang ingin berjaya di hadapan publik. Tak peduli apakah ia artis, pengusaha, atau politikus, ia harus terlebih dulu menjadi selebritas yang baik untuk memenangi hati masyarakat. Selebritas, bukan esensi, yang lebih pokok perannya kini. Maka, lahirlah politikus, pengusaha, dan pengamat yang tampil seperti artis, berbicara panjang-lebar di televisi namun hanya memproduksi wacana sekelas lagu pop, dan, sekali lagi, ironisnya, publik tak tahu bahkan senang akan hal demikian, karena dianggap hiburan yang dibutuhkan.
Banalitas tentu tak selalu berkonotasi negatif. Nasionalisme, untuk sementara kalangan, lahir dari pernik-pernik, kejadian, dan pengalaman dangkal sehari-hari. Namun kedangkalan yang disebabkan oleh efek budaya pop tidak hanya membuat peristiwa penting sehari-hari dibuat dan disulap menjadi hiburan semata yang sebentar lagi akan dilupakan, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah efeknya yang membuat masyarakat menjadi malas, pasif, dan melihat sesuatu tanpa visi. Debat penting mengenai dampak korupsi tidak lagi memiliki magnitude yang punya nilai jurnalisme tinggi karena format, isi, dan kemasan medianya begitu pop dan ringan. Pembawa acara menyebut kata "korupsi" dengan tersenyum dan enteng, sementara tersangka korupsi yang dijadikan sumber tetap berwajah semringah seolah dunia berpihak kepadanya.
Ada kalanya sebuah bangsa memerlukan momen kritis di mana sesuatu yang serius harus ditempatkan sebagai sesuatu yang serius, sesuatu yang mesti mendapatkan perhatian publik harus dibawakan dengan cara yang lebih pantas. Kasus korupsi, pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, untuk menyebut beberapa, adalah di antara isu-isu yang harus dibawakan dan dibicarakan dengan cara yang semestinya memiliki bobot tinggi, sehingga siapa pun yang melihatnya akan menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Membuat isu-isu tersebut sebagai isu pop tidak hanya menunjukkan kegagalan pemahaman terhadap misi luhur jurnalisme, namun juga yang lebih parah adalah terjadinya kekerasan epistemologis karena gagal menempatkan pengetahuan secara semestinya.
Media bukan satu-satunya pihak yang menyumbang terhadap proses masif budaya pop pada ruang publik ini. Agen-agen sosial yang terperangkap dalam struktur modernitas tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa gerak cepat modernitas berada di luar jangkauannya untuk dikendalikan. Bukan agen yang mengendalikan struktur, melainkan sebaliknya, strukturlah yang mengendalikan agen. Proses "popisasi" sampai batas tertentu merupakan akibat langsung dari modernitas, di mana modernitas sendiri sebagiannya dibentuk oleh teknologi komunikasi yang semakin merajai.
Skenario kuldesak ini kedengaran begitu tak mengenakkan, namun inilah fakta yang harus dikunyah oleh masyarakat modern. Di antara solusi yang mungkin adalah dengan memberdayakan agen sosial dan terbentuknya massa kritis demi ruang publik Indonesia yang lebih baik. [*]

Sumber [Koran Tempo Minggu, 19 Februari 2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar