Buni Yani
PENELITI
INSTITUTE OF CULTURAL ANTHROPOLOGY AND DEVELOPMENT SOCIOLOGY UNIVERSITAS
LEIDEN, BELANDA, SEKARANG SEDANG MELAKUKANPENELITIAN MENGENAI BUDAYA POP DAN
MODERNITAS
Modernitas,
yang ditandai oleh gerak cepat sejarah, mengingatkan kita akan tesis Giddens
yang menyebutkan bahwa modernitas itu kini lari tunggang-langgang, bahkan telah
membuat nilai-nilai tradisional kocar-kacir tak tentu arah. Keserbacepatan ini
sekaligus juga menandai lahirnya banalitas atau kedangkalan. Semua yang
bergerak dalam ruang publik, untuk meminjam Habermas, seolah telah menjelma
menjadi budaya pop yang hanya akan diingat sejenak karena penampakan luarnya
yang menggiurkan. Tak ada isi, jauh dari permenungan yang mendalam, dan kadang
kala menipu sedemikian rupa. Namun, ironisnya, orang kebanyakan tidak tahu apa
yang sedang terjadi.
Ahli media dan sosiolog yakin benar bahwa semua ini
sebagiannya disebabkan oleh digdayanya pengaruh media terhadap ruang publik dan
masyarakat. Tanpa media, gerak cepat ini tak akan mengalami akselerasi
sedemikian dahsyatnya, sampai-sampai masyarakat hanya mengingat
kejadian-kejadian terbaru dan pada saat yang sama akan cepat melupakan
kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Sampai batas tertentu, masyarakat secara
umum mengalami apa yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan sebagai amnesia
kolektif, karena lebatnya hujan informasi yang menggempur terus-menerus tanpa
henti.
Ini fenomena global ras manusia kini yang tidak hanya terjadi
di pusat-pusat modernitas lama, seperti Eropa dan Amerika, namun juga telah
melanda lokalitas modern baru negara-negara di Asia. Pencitraan media kini
menjadi kewajiban bagi siapa pun yang ingin berjaya di hadapan publik. Tak
peduli apakah ia artis, pengusaha, atau politikus, ia harus terlebih dulu
menjadi selebritas yang baik untuk memenangi hati masyarakat. Selebritas, bukan
esensi, yang lebih pokok perannya kini. Maka, lahirlah politikus, pengusaha,
dan pengamat yang tampil seperti artis, berbicara panjang-lebar di televisi
namun hanya memproduksi wacana sekelas lagu pop, dan, sekali lagi, ironisnya,
publik tak tahu bahkan senang akan hal demikian, karena dianggap hiburan yang
dibutuhkan.
Banalitas tentu tak selalu berkonotasi negatif. Nasionalisme,
untuk sementara kalangan, lahir dari pernik-pernik, kejadian, dan pengalaman
dangkal sehari-hari. Namun kedangkalan yang disebabkan oleh efek budaya pop
tidak hanya membuat peristiwa penting sehari-hari dibuat dan disulap menjadi
hiburan semata yang sebentar lagi akan dilupakan, namun yang lebih
mengkhawatirkan adalah efeknya yang membuat masyarakat menjadi malas, pasif,
dan melihat sesuatu tanpa visi. Debat penting mengenai dampak korupsi tidak
lagi memiliki magnitude yang punya nilai jurnalisme tinggi
karena format, isi, dan kemasan medianya begitu pop dan ringan. Pembawa acara
menyebut kata "korupsi" dengan tersenyum dan enteng, sementara
tersangka korupsi yang dijadikan sumber tetap berwajah semringah seolah dunia
berpihak kepadanya.
Ada kalanya sebuah bangsa memerlukan momen kritis di mana
sesuatu yang serius harus ditempatkan sebagai sesuatu yang serius, sesuatu yang
mesti mendapatkan perhatian publik harus dibawakan dengan cara yang lebih
pantas. Kasus korupsi, pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, untuk menyebut
beberapa, adalah di antara isu-isu yang harus dibawakan dan dibicarakan dengan
cara yang semestinya memiliki bobot tinggi, sehingga siapa pun yang melihatnya
akan menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Membuat isu-isu tersebut
sebagai isu pop tidak hanya menunjukkan kegagalan pemahaman terhadap misi luhur
jurnalisme, namun juga yang lebih parah adalah terjadinya kekerasan
epistemologis karena gagal menempatkan pengetahuan secara semestinya.
Media bukan satu-satunya pihak yang menyumbang terhadap proses
masif budaya pop pada ruang publik ini. Agen-agen sosial yang terperangkap
dalam struktur modernitas tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa gerak cepat
modernitas berada di luar jangkauannya untuk dikendalikan. Bukan agen yang
mengendalikan struktur, melainkan sebaliknya, strukturlah yang mengendalikan
agen. Proses "popisasi" sampai batas tertentu merupakan akibat
langsung dari modernitas, di mana modernitas sendiri sebagiannya dibentuk oleh
teknologi komunikasi yang semakin merajai.
Skenario kuldesak ini kedengaran begitu tak mengenakkan, namun
inilah fakta yang harus dikunyah oleh masyarakat modern. Di antara solusi yang
mungkin adalah dengan memberdayakan agen sosial dan terbentuknya massa kritis
demi ruang publik Indonesia yang lebih baik. [*]
Sumber
[Koran Tempo Minggu, 19 Februari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar