Minggu, 01 Juli 2012

Sekolah, Kita, Indonesia


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Orang-orang kita lahir dari sekolah, tampil mengusung ide-ide modern, memainkan peran sebagai lokomotif dalam pergerakan ke
Orang-orang besar bisa lahir dari sejarah bersekolah. Institusi pendidikan ini membentuk, menyulut, dan mengantarkan orang melakukan ziarah intelektual untuk menggapai cita. Sekolah mirip titian berkah: menjadikan orang sumringah menata hidup dan mengangankan nasib. Sejarah sekolah pun terseret dalam biografi diri, dikenang dan dipuja sebagai almamater, disimpan dalam deretan peristiwa-peristiwa terpenting dalam hidup. Orang mau sekolah, orang mau mengubah nasib.
Bagaimana sekolah turut mendefinisikan kita dan Indonesia? Lembaran-lembaran sejarah sekolah tampak lengket, jarang tersentuh dan terbacakan, mendekam dalam ruang sempit dengan bisikan-bisikan tak terdengar. Sekolah sebagai sistem, struktur, ideologi, dan nilai merupakan “pemberian” Eropa. Sekolah adalah agen pembaratan ditilik dari sejarah misi dan kolonialisme. Mampir dan menyebar di penjuru Nusantara, membentuk pola pendefinisian dengan menjauh dari akar kultural-lokal dan mengeja diri dalam mata-epistemologis Barat.

Minggu, 24 Juni 2012

Kekerasan


Geger Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

Di masa Orde Baru, orang-orang menanti tibanya hari seperti yang kita jalani setiap hari sekarang ini. Tak ada sosok tunggal yang mana kekayaan di seluruh Indonesia dengan gampang terjatuh ke bawahnya, dan warga hanya dapat menonton dengan pasrah dari balik penjagaan tentara. Tak ada sesosok Paman Gober yang mana uang ibarat dicetak hanya untuk mengalir kepadanya.
Dan, benar, inilah eranya. Kemakmuran tidak lagi digenggam bulat-bulat oleh satu sosok. Namun sekarang, siapa yang tidak punya kawan yang tak pernah menghela napas sambil merindukan ketenangan hidup di masa sebelumnya? Saat melangkah ke era ini, kita dengan polos mendambakan keadilan dan gagal melihat bahwa kekerasan juga turut akan terbagi-bagi dengan "adil" ke tengah-tengah masyarakat. Tahu-tahu saja kekerasan menjadi bahasa baru yang menyergap kita. Menengadah ke atas, kita hanya akan menemukan negara yang membatu di hadapan kekerasan kekuatan-kekuatan masyarakat terhadap warga. Dan yang tersisa tinggal apa yang ada di belakang kita.

Minggu, 17 Juni 2012

Tidak Terbit

Minggu ini, 17 Juni 2012, Koran Tempo tidak terbit karena bertepatan dengan libur nasional (Isro Miraj 1433 H).

Minggu, 10 Juni 2012

Teknologi Pemulihan Lahan Sakit


Tualar Simarmata
GURU BESAR FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Kesehatan dan kesuburan lahan sawah di Indonesia saat ini sudah sangat kritis, dan sebagian besar sudah sakit berat. Akibatnya, respons terhadap pemupukan semakin melandai (leveling off). Sementara produktivitas padi rata-rata nasional terus meningkatkan dari sekitar 2 ton pada 1960-an hingga menjadi sekitar 4,5 ton per ha pada 1990-an, dari periode 1990 hingga 2011 produktivitas hanya berkisar 4,6-4,9 ton per ha. Tanah yang telah mengalami degradasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai lahan sawah sakit dan kelelahan (sick soils and fatigue).
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) mengungkapkan, saat ini sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta ha) memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen C-org), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3persen C-org). Tanah dengan kandungan C-organik < 2persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3persen, maka kondisi tersebut sudah sangat kritis.

Minggu, 03 Juni 2012

Doa dan Pancasila


Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Pancasila tak sekadar pidato atau perdebatan pelik soal falsafah negara. Sejarah Pancasila pun menguak doa. Kita bisa melakukan selisik melalui pengakuan Sukarno. Pancasila mewartakan religiositas sebagai basis politik Indonesia. Sukarno telah merancang Pancasila sejak 1920-an untuk memberi makna dan mengisahkan Indonesia. Ritus menggali-mengolah Pancasila memuncak saat menjelang pidato Pancasila: 1 Juni 1945.
Sukarno menerangkan peristiwa religius di rumah beralamat di Jalan Pengangsaan Timur 56: malam menjelang pidato Pancasila. Kita bisa turut merasai ritus pendoa untuk mengajukan Pancasila sebagai falsafah Indonesia. Sukarno (1964) mengisahkan: “Saja keluar di malam sunji itu dan saja menengadahkan wadjah saja ke langit. Dan, saja melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan, di sinilah saja merasa kecilnja manusia, di situlah saja merasa dhaifnja aku ini, di situlah aku merasa pertanggungan-djawab jang amat berat dan besar jang diletakkan di pundak saja, oleh karena keesokan harinja saja harus mengemukakan usul saja tentang hal dasar apa negara Indonesia merdeka harus memakai.” 

Minggu, 27 Mei 2012

Menertawai Korupsi


M. Fauzi Sukri
MAHASISWA KAJIAN AMERIKA UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak ada, kataku dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad perihal subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk ditertawai. Saat semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk mencegah, menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan korupsi tak henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita sedang menghadapi diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual dengan mulut besar menganga. 
Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini, kita sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus sampai di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan Goenawan Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa." Kita tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana. Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga penting untuk ditertawai dengan resah. 

Minggu, 20 Mei 2012

Revitalisasi Budaya Lokal


Kelik M. Nugroho
PEMILIK SITUS www.piringanhitam.com

Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna tradisi digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian lokal. Ada sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan berbawahan sarung bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan batang kayu di lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki dewasa berpakaian tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang pamanca). 
Namun yang paling penting justru ketika Maing, Ketua Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih. “Kepala desa terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami menerapkan nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,” kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri pada 10 Mei 2012.