Bandung Mawardi
PENGELOLA
JAGAT ABJAD SOLO
Orang-orang kita lahir dari sekolah,
tampil mengusung ide-ide modern, memainkan peran sebagai lokomotif dalam
pergerakan ke
Orang-orang besar bisa lahir dari
sejarah bersekolah. Institusi pendidikan ini membentuk, menyulut, dan
mengantarkan orang melakukan ziarah intelektual untuk menggapai cita. Sekolah
mirip titian berkah: menjadikan orang sumringah menata hidup dan mengangankan
nasib. Sejarah sekolah pun terseret dalam biografi diri, dikenang dan dipuja
sebagai almamater, disimpan dalam deretan peristiwa-peristiwa terpenting dalam
hidup. Orang mau sekolah, orang mau mengubah nasib.
Bagaimana sekolah turut mendefinisikan
kita dan Indonesia? Lembaran-lembaran sejarah sekolah tampak lengket, jarang
tersentuh dan terbacakan, mendekam dalam ruang sempit dengan bisikan-bisikan
tak terdengar. Sekolah sebagai sistem, struktur, ideologi, dan nilai merupakan
“pemberian” Eropa. Sekolah adalah agen pembaratan ditilik dari sejarah misi dan
kolonialisme. Mampir dan menyebar di penjuru Nusantara, membentuk pola
pendefinisian dengan menjauh dari akar kultural-lokal dan mengeja diri dalam
mata-epistemologis Barat.
Sartono Kartodirdjo (1987) menyebut
sejarah kita dalam sejarah sekolah pada masa kolonial adalah bentuk
detradisionalisasi. Sekolah model Barat pada awal abad XX di Hindia Belanda
melahirkan kaum elite dengan risiko tak terelakkan, kondisi dilematis untuk
mengafirmasi “kemadjoean” atau terikat dengan sumber tradisi-lokal. Kaum elite
terserap dalam pendidikan dan keprofesian ala Barat, mengalami pelunturan atas
penghayatan tradisi. Risiko dalam bingkai kultural Jawa adalah elite kehilangan
asosiasi kesusastraan dan kesarjanaan tradisional sebagai basis memartabatkan
diri.
Pembaratan
Jejak sejarah sekolah masih belum
terang. Konon, sekolah dalam format Barat sudah ada di Ternate pada 1536.
Sekolah-sekolah di Indonesia bagian timur dibentuk pada abad XVII, Sumatera dan
Jawa pada abad XIX. Pamrih pendirian sekolah itu bergantung pada situasi lokal
dan pencapaian misi. Para pemula identik dengan afiliasi politik dan agama.
Proyek peradaban ini seolah ingin meninggikan derajat kaum pribumi dengan
afirmasi atas agama-agama samawi dan keberimanan atas nalar Barat. Klasifikasi
sekolah muncul untuk pembedaan atas pemberlakuan sistem dan identitas murid.
Risiko sekolah tampak di Koto Gadang
(Sumatera) pada permulaan abad XX. Kultur pertanian, peternakan, atau kerajinan
digantikan dengan pengenalan profesi amtenar, juru tulis, jaksa, guru, atau
mantri. Sekolah ala Barat berterima di Koto Gadang sebagai titian mengusung
perubahan. Afirmasi ini membuat Koto Gadang merupakan gudang para tokoh
intelektual. Mereka lahir dari rahim sekolah modern. Mereka adalah Agus Salim,
Sjahrir, Abdul Muis, dan Rohana Kudus. Azizah Etek, Mursjid A.M., dan Arfan
B.R. dalam Koto Gadang Masa Kolonial(2007) menjelaskan bahwa Koto
Gadang kuat memegang-merawat adat sekaligus merupakan daerah awal penerima
pengaruh Barat. Perubahan dilangsungkan, kemodernan diserap, dan adat bergerak
dalam dilema.
Risiko sekolah juga dialami oleh
murid-murid di Jawa. Sekolah-sekolah umum di Jawa didirikan pada 1849. Sekolah
lanjutan untuk jadi guru didirikan di Solo pada 1852. Jawa pun jadi pusat
pergolakan untuk mengusik tradisi dan menebar godaan Barat. Koentjaraningrat
(1984) dalam olahan pelbagai sumber penelitian dari sarjana asing menyebutkan
bahwa kultur agraris, lokalitas, tradisi klasik memudar oleh gairah
mendefinisikan diri atas nama modernitas, perubahan dalam takdir zaman. Jawa
menjadi “negeri sekolah” karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Indonesia pada 1901 memiliki 1.021 sekolah negeri dan pada 1907 memiliki 122
sekolah desa. Mayoritas sekolah-sekolah itu ada di Jawa dengan murid dari
pelbagai daerah. Sekolah di Jawa menjelma jadi kawah candradimuka untuk
perubahan nasib dan proyek identitas dalam tarikan tradisi, agama,
nasionalisme, atau globalisasi. Sekolah dalam orbit kolonial seolah mendominasi
ketimbang gerakan “sekolah-sekolah liar” dengan ikon Taman Siswa. Resistensi
pembaratan dilakukan kendati dihantui kekalahan.
Frances Gouda dalam Dutch
Culture Overseas (2007) justru mengungkapkan bahwa anak laki-laki
priayi didikan di sekolah Eropa khusus atau sekolah Belanda pribumi bakal
berdiri di tengah pusaran kultural: diterjang surutnya arus pengaruh Barat dan
pasangnya arus tradisi Jawa. Simpulan metaforik juga diungkapkan oleh M.A.M.
Renes-Boldingh dalam novel Adat, kisah mengenai geliat perubahan di
Batak. Pengarang asal Belanda ini mengungkapkan: “Kaum muda berpendidikan Barat
menempati sebuah semenandjung kecil... mencabut dan sekaligus menabur
kecemasan.” Mereka mengalami kontradiksi diri: mengikat diri dengan tradisi
(adat) atau melenggang girang dengan gagasan-gagasan Barat. Sekolah adalah
jalan ke Barat, jalan meninggalkan rumah-kultural di bumi sendiri.
Tokoh
Sejarah sekolah dalam biografi para
tokoh bakal menginformasikan tentang imajinasi perubahan, angan mengubah nasib,
dan keajaiban zaman. Mereka sekolah untuk meraup berkah. Mohammad Hatta memilih
melanjutkan sekolah ke Jawa agar bisa bergerak di bisnis-ekonomi. Sutan Sjahrir
memilih sekolah ke AMS di Bandung, sekolah termahal dengan kualitas eksklusif.
Sjahrir pun kelak moncer: menjelma sebagai ikon keintelektualan di Indonesia.
Mereka mau merantau dari tanah kelahiran, merasai hidup di Jawa sebagai murid,
mengubah nasib melalui sekolah.
Sultan Hamengku Buwono IX pada waktu
bocah bersekolah di HBS Semarang, jauh dari keluarga di Keraton Yogyakarta.
Hidup dalam keluarga dan kultur Barat, menyerap kemodernan, serta fasih dalam
bahasa Belanda untuk menunjang pelajaran. Sekolah membentuk dan mengubah
Hamengku Buwono IX menjelma jadi manusia modern kendati tak melepaskan
akar-akar tradisi dalam laku politik dan kultural. Sartono Kartodirdjo
memerlukan melanjutkan sekolah ke HIS di Solo, hijrah dari Wonogiri untuk
meluaskan pengetahuan dan pergaulan. Mereka tumbuh dan besar dipengaruhi oleh
sekolah pada masa kolonialisme. Pendefinisian diri dan Indonesia bergerak dari
kisah-kisah sekolah.
Tbangsaan, dan menabur ilmu dalam lini
sastra, ekonomi, politik, sejarah, bahasa, hukum, atau teknik. Kita mewarisi
sejarah mereka, meneruskan mekanisme membentuk diri dalam ideologisasi sekolah.
Institusi modern ini, dari zaman ke zaman, terus terbayangi oleh model
pembaratan. Berkah dan petaka menyeruak hari ini, sekolah-sekolah masuk dalam
persaingan sengit untuk melabeli diri bertaraf internasional, standardisasi
memusat ke Barat dijadikan ukuran kualitatif dan pamor. Sejarah kita dan
sejarah Indonesia seolah akumulasi dari pasrah dan gairah menjadi Barat.
Sekolah mengubah dan mendefinisikan kita. Sekolah adalah sumber gagasan untuk
mengonstruksi dan menggerakkan Indonesia. [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 1 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar