Geger Riyanto
ALUMNUS SOSIOLOGI UNIVERSITAS
INDONESIA
Di masa Orde Baru, orang-orang menanti
tibanya hari seperti yang kita jalani setiap hari sekarang ini. Tak ada sosok
tunggal yang mana kekayaan di seluruh Indonesia dengan gampang terjatuh ke
bawahnya, dan warga hanya dapat menonton dengan pasrah dari balik penjagaan
tentara. Tak ada sesosok Paman Gober yang mana uang ibarat dicetak hanya untuk
mengalir kepadanya.
Dan, benar, inilah eranya. Kemakmuran
tidak lagi digenggam bulat-bulat oleh satu sosok. Namun sekarang, siapa yang
tidak punya kawan yang tak pernah menghela napas sambil merindukan ketenangan
hidup di masa sebelumnya? Saat melangkah ke era ini, kita dengan polos
mendambakan keadilan dan gagal melihat bahwa kekerasan juga turut akan
terbagi-bagi dengan "adil" ke tengah-tengah masyarakat. Tahu-tahu
saja kekerasan menjadi bahasa baru yang menyergap kita. Menengadah ke atas,
kita hanya akan menemukan negara yang membatu di hadapan kekerasan
kekuatan-kekuatan masyarakat terhadap warga. Dan yang tersisa tinggal apa yang
ada di belakang kita.
Masa lalu yang sudah kita lampaui itu
terasa sangat tenteram. "Lebih enak hidup di zamanku, toh?" kata
potret Soeharto tersenyum dalam gambar rekaan yang menyebar dari telepon
seluler ke telepon seluler. Ya, di masa itu, apa-apa harus berurusan dengan aparat.
Aparat, aparat, dan aparat begitu keluhan terbanyak pada masa itu. Dan pada
hari-hari tergelap era ini, mayat-mayat para preman bergelimangan di jalan.
Mereka diubah menjadi seonggok daging tak berharga semata untuk menyampaikan
pesan, inilah yang mampu dilakukan negara terhadap para pengganggu keamanan.
Kendati terasa tabu untuk kembali
dibicarakan di ruang terbuka, tak hanya satu-dua orang yang menganggap
pembantaian sistematis Orde Baru tersebut tindakan yang bisa dibenarkan hari
ini. Kekerasan-kekerasannya tak jarang kini dianggap ibarat ketegasan yang
perlu dilakukan seorang bapak agar keluarganya tidak berantakan; kekerasan yang
merupakan keputusan bijak untuk mengakhiri semua kekerasan lainnya.
Akan tetapi kekangenan seperti ini tak
lain berasal dari penglihatan yang kabur, terburu hasrat mencari pegangan model
masyarakat ideal. Pegangan itu, bagi para pendambanya, tak perlu jauh-jauh di
luar negeri atau masyarakat utopia yang mengawang. Ia ada di masa lalu kita
sendiri yang saban hari masih kita tinggali. Pandangan semacam ini bukannya
menggambarkan sejarah kita, malah, boleh dikatakan, ahistoris pada tingkat yang
sangat ekstrem. Sejarah, toh, adalah sesuatu yang benar-benar terjadi dan bukan
sekadar apa yang ingin kita bayangkan pada saat ini.
Logika sederhananya, bahwa di negara
Orde Baru yang cengkeramannya nyaris total itu sampai terbentuk lapisan
masyarakat yang disebut dengan gali (gabungan anak-anak liar) sebelum akhirnya
dilibas dengan penembakan misterius pada 1980-an. Berarti kelompok-kelompok
yang punya kapasitas melakukan kekerasan dan lazimnya hidup dengan memeras
masyarakat setempat ini pernah berkembang. Seizin negara, tentunya.
Permasalahannya, saat ini berkembang
idiom bahwa negara membiarkan kekerasan, dan ini menyimpan kekeliruan mendasar.
Dengan begitu, kita memandang negara sebagai pihak yang pasif, tak bergerak,
takluk terhadap para pelaku kekerasan. Orang-orang melihat Presiden saat ini
sebagai sosok yang menyikapi persoalan dengan imbauan tanpa tindakan nyata,
sampai-sampai ada lelucon untuk mematikan televisi, SBY mengimbau televisinya
untuk mati sendiri, bukan beranjak mematikannya. Dengan membayangkan bahwa
kekerasan sipil adalah kekacauan yang merebak lantaran ketidaktegasan negara,
selanjutnya terciptalah kehausan massal akan pemegang otoritas yang berani
menyediakan rasa aman bagi warganya.
Padahal, berbicara tentang aparatus
keamanan negara adalah berbicara tentang pihak yang kapasitas, keorganisasian,
kekuatan, dan persenjataannya disokong oleh uang pajak serta penerimaan negara
lainnya yang begitu masif. Ditambah lagi hanya lembaga ini yang dengan wewenang
konstitusionalnya dapat secara leluasa mengembangkan teknik-teknik preventif
dan koersif yang efektif untuk menegakkan ketertiban. Pertanyaannya, mengapa leviathan sebesar
ini mesti takut terhadap segelintir pengganggu keamanan?
Tengoklah juga wajah kekerasan di
sekitar kita dengan saksama; aktivitas dalam kelompok-kelompok yang biasa
mengatasnamakan ideologi atau etnisitas, yang wilayah pergerakannya jelas,
pemilihan sasaran ditimbang-timbang secara rasional. Sebagai kekerasan yang
katanya digerakkan oleh impuls membela keyakinan, ini, ganjilnya, terlalu rapi.
Tak masuk akal untuk mengatakan
keleluasaan kelompok-kelompok masyarakat mengorganisasi kekerasan di wilayah di
mana kekerasan dimonopoli oleh negara semata disebabkan keabaian aparat.
Semuanya baru jelas ketika kita dengan terpaksa mengakui: memang, kekerasan
punya harga untuk dikelola oleh berbagai pemegang kekuatan bersama-sama. Dengan
mengkritik negara gemetar dan lepas tangan terhadap ledakan-ledakan di
masyarakat sipil, sayangnya kita sebenarnya melindungi mereka dari kenyataan
bahwa tak mungkin leviathan ini tidak terlibat dalam
pengembangbiakan kekerasan tersebut.
Ketakutan kita sebagai warga adalah mangsa
paling pertama kekerasan. Kuasa melakukan kekerasan yang dimiliki oleh
kekuatan-kekuatan lokal memungkinkan mereka mengekstraksi berbagai pungutan
yang kalau kita hitung-hitung jumlahnya sekurangnya sebanding dengan usaha
tingkat menengah. Andaikan kita pemilik sebuah kios kecil di Jakarta dan
sekelompok pria berpembawaan angker tiba-tiba datang meminta sumbangan, kita
tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka tak memperoleh apa yang
mereka inginkan, bukan?
Sebagian besar dari kita tak pernah
menjadi korban kekerasan ini secara langsung. Namun cukup sekali melihat
citra-citra kekerasan sipil dari televisi dan koran, kita sudah menjadi bagian
dari lahan pendapatan mereka yang akan digarap dengan jauh lebih sistematis
dari dugaan kita. Pernahkah terlintas pada kita untuk melaporkan
praktek-praktek yang melanggar wewenang negara ini kepada aparat? Kemungkinan
besar tidak. Kemungkinan besar, terpikir, melapor hanya buang-buang energi; tak
mungkin negara tak tahu-menahu adanya kekuatan yang menjadikan kewenangan di
wilayahnya ambigu. Dan kalau kita membatin lebih jauh lagi: tak mungkin negara
tak terlibat. Bayangkan praktek ini berlarut-larut di negara sebesar ini
sebesar apa manfaat yang bisa diambil pengelolanya?
Akan tetapi agaknya kita tak kuat
untuk lama-lama berpikir bahwa kita seterjebak itu. Mengapa setelah melihat
aparat negara berpihak kepada pelaku kekerasan dalam peristiwa penyerangan
terhadap satu kelompok minoritas, kita masih berpikir bahwa ini dikarenakan
negara gentar, bukan lantaran mereka beraliansi dengan satu pihak? Agaknya,
kita ingin membayangkan bahwa masih ada jalan keluar dari sergapan
potensi-potensi kekerasan bahwa apa yang terjadi semata disebabkan oleh
kelemahan pribadi-pribadi yang mungkin untuk diubah selama kita berpegangan
pada nilai integritas yang jelas.
Dan ujung-ujungnya, pengharapan yang
seperti ini akan dijemput dalam pemilihan umum oleh sosok-sosok yang citra
tegasnya dipoles dengan uang miliaran rupiah atau, seperti yang sudah terjadi,
dihibur dengan kerinduan terhadap masa lalu (atau, tepatnya, apa yang kita
angankan sebagai masa lalu kita).
Karenanya, mesti kita camkan,
suka-tidak suka, dari waktu ke waktu, kekerasan akan terus menjadi sesuatu yang
menggiurkan untuk dikelola. Mengurainya sama sekali bukan sebuah pekerjaan yang
sesederhana mencoblos figur-figur gagah atau mencari-cari era idaman di halaman
masa silam. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 24 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar