M. Fauzi Sukri
MAHASISWA KAJIAN AMERIKA UNIVERSITAS SEBELAS MARET,
SURAKARTA
Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak ada, kataku
dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad perihal
subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk ditertawai. Saat
semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk mencegah,
menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status korupsi sebagai
kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan korupsi tak
henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita sedang menghadapi
diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual dengan mulut
besar menganga.
Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini, kita
sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus sampai
di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan Goenawan
Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa." Kita
tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di
hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan
sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan
yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya
bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia
politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi
sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti
hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana.
Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga
penting untuk ditertawai dengan resah.
Untuk itulah barangkali beberapa hari ini kita
menyaksikan satu iklan penertawaan korupsi. Alkisah, tiga jin besar di dunia
yang berasal dari Timur Tengah, Jepang, dan Indonesia beradu
keampuhan-ketangkasan untuk menghilangkan benda-benda yang besar. Jin dari
Timur Tengah mampu menghilangkan Piramida; jin dari Jepang berhasil
menghilangkan Gunung Fuji. Tapi tak banyak tepuk tangan yang diraih atas
keberhasilan mereka. Biasa-biasa saja bagi penontonnya yang orang Indonesia.
Sedangkan jin dari Indonesia, tak tanggung-tanggung, cuma mampu menghilangkan
ribuan tumpuk berkas korupsi! Ya, cuma ribuan tumpuk berkas kasus korupsi! Tapi
semua penonton memberikan standing applause! Mengenyahkan korupsi
butuh jin dan hanya jin yang mampu? Ampuh! Maka kita butuh menertawai korupsi.
Kalau kita memperhatikan kasus korupsi, terutama yang
menyangkut orang berkuasa memang pelakunya terutama 99 persen orang-politikus
berkuasa! korupsi tampak seperti permainan-permainan konspirasi yang tak
terjangkau akal awam, apalagi hendak ditangani. Maka, kita butuh jin! Keajaiban
dan ketangkasan seorang pesulap seperti jin yang kita butuhkan untuk menangani
korupsi. Bukan penegak hukum, sepertinya. Toh kita juga tahu, korupsi
hampir-hampir seperti adegan fiksi konspiratif yang menyelubungi dan saling
terkait dalam lingkaran setan anggota dewan perwakilan rakyat,
politikus-pejabat pemerintah, pejabat-kehakiman, anggota kepolisian, kejaksaan,
dan lain-lain.
Saya terkadang merasa terhina oleh pemberitaan masalah
korupsi. Kenapa tak henti-henti dan terus ada di negeri ini. Padahal semua
solusi sudah dikemukakan dan petugas penegakan hukum serta hukum sudah
disediakan. Maka, saya sering terperangkap geli: kita itu hendak mengenyahkan
korupsi atau malah hendak bermain korupsi? Bukankah koruptor itu manusia, bukan
makhluk halus yang berada dunia lain?
Ah, barangkali memang koruptor itu sejenis jin,
dedemit, babi ngepet, dan lain-lain yang bukan sebangsa manusia. Maka, memang
hanya jin yang bisa menghapus dan menyelesaikan wabah korupsi di negeri ini.
Logika ketangkasan-kecerdasan kepolisian, kecerdikan kejaksaan, kecanggihan
intelijen negara, atau kepiawaian profesor-akademisi, dan lain-lain, tak bisa
menembus dan mengendus koruptor. Ajaib! Di hadapan pemberitaan korupsi dan
wabah korupsi, saya dan mungkin berjuta-juta rakyat Indonesia tiba-tiba menjadi
dungu, bodoh, dan pandir. Ya, pandir, seperti seorang tukang kebun saat
menghadapi logika sederhana yang canggih dari Nasruddin Khoja, salah satu manusia
paling cerdas di Timur Tengah yang sedang tertangkap basah mencuri buah-buahan.
Alkisah, Nashruddin Khoja masuk ke sebuah kebun ketika
pemiliknya sedang tidak ada dalam kasus korupsi, pemiliknya jelas: rakyat
Indonesia! Nashruddin memetik buah yang ada di bawah tangannya sampai satu tas
penuh. Ketika Nashruddin hendak keluar, pemilik kebun itu sudah kembali.
Nashruddin kelabakan dan ketakutan. Pemilik kebun bertanya, "Apa yang
sedang engkau kerjakan di sini?" Nashruddin menjawab tanpa berpikir panjang.
"Angin yang bertiup kemarin menjatuhkan aku di sini." Pemilik kebun
berkata, "Bagus! Lalu siapa yang memetik buah yang ada di dalam
tasmu?" Ia menjawab, "Angin yang bertiup kencang telah memainkanku di
udara, lalu tanpa sengaja tubuhku mengenai beberapa buah ini sehingga berada di
tanganku." Pemilik kebun berkata, "Bagus! Tapi siapa yang
memasukkannya ke dalam tasmu?"
Untuk pertanyaan terakhir ini Nashruddin tidak
menemukan jawaban. Akan tetapi ia berkata, "Aku juga sedang berpikir
tentang itu. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa semenjak aku melihatmu, aku pun
berpikir tentang jawaban atas pertanyaan itu. Namun aku tidak kunjung
mendapatkannya." Tak ada akhir yuridis dari kisah itu, apakah Nashruddin
dihukum atau tidak. Dua-duanya tampaknya sedang terbengong-bengong, berpikir
keras, mungkin tentang keampuhan angin, tapi entah untuk tujuan apa!
Kisah anekdotis ini tampak persis seperti yang sering
terjadi dalam pemberitaan kasus korupsi. Di negeri ini koruptor tampak dengan
tenang mengeluarkan kata-kata, terutama bantahan, bukan bukti, meski sering
tergolong tak masuk akal-logika manusia cerdas. Si pemilik kebun, juga
penghancur korupsi, tampak seperti tak memiliki kecerdasan yang ampuh untuk
segera tahu dan menangkap pelakunya. Tapi, memang koruptor Indonesia itu
manusia sebangsa jin yang kelasnya sudah profesor, agen intelijen yang canggih
lagi tangkas, atau bahkan ahli hukum yang sangat mafhum celah-celah
penyelewengan hukum. Untuk itu, perlu jin yang memiliki keampuhan mumpuni untuk
mengenyahkan korupsi dan koruptor! Aku percaya! Maka dari itu, aku tertawa! [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 27 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar