Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Pancasila tak sekadar pidato atau
perdebatan pelik soal falsafah negara. Sejarah Pancasila pun menguak doa. Kita
bisa melakukan selisik melalui pengakuan Sukarno. Pancasila mewartakan
religiositas sebagai basis politik Indonesia. Sukarno telah merancang Pancasila
sejak 1920-an untuk memberi makna dan mengisahkan Indonesia. Ritus
menggali-mengolah Pancasila memuncak saat menjelang pidato Pancasila: 1 Juni
1945.
Sukarno menerangkan peristiwa religius
di rumah beralamat di Jalan Pengangsaan Timur 56: malam menjelang pidato
Pancasila. Kita bisa turut merasai ritus pendoa untuk mengajukan Pancasila
sebagai falsafah Indonesia. Sukarno (1964) mengisahkan: “Saja keluar di malam
sunji itu dan saja menengadahkan wadjah saja ke langit. Dan, saja melihat
bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan, di sinilah saja
merasa kecilnja manusia, di situlah saja merasa dhaifnja aku ini, di situlah
aku merasa pertanggungan-djawab jang amat berat dan besar jang diletakkan di
pundak saja, oleh karena keesokan harinja saja harus mengemukakan usul saja
tentang hal dasar apa negara Indonesia merdeka harus memakai.”
Sejarah Pancasila melibatkan tubuh
dramatis. Pancasila memuat pemaknaan ruang dan waktu. Puncak ritus ke arah
Pancasila adalah doa. Urusan Indonesia ada dalam kefasihan dan kekhusyukan doa
ala Sukarno. Ingatan Sukarno terkait hikmah berdoa: “Saudara-saudara, setelah
aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saja merasa mendapat ilham. Ilham jang
berkata: Galilah apa jang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia
sendiri. Maka, malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di
dalam ciptaku, menggali di dalam khajalku, apa jang terpendam di dalam bumi
Indonesia, agar supaja sebagai hasil dari penggalian itu dapat dipakainja
sebagai dasar negara Indonesia merdeka jang akan datang.” Kisah Pancasila
menjadi ketakjuban. Pancasila bergerak di jalan religius.
Yudi Latif (2011) menjelaskan bahwa
mekanisme dan ritus Pancasila memuat sejarah, doa, politik, tubuh, waktu.
Historisitas mengartikan peran Sukarno identik dengan arus religius dan
kebangsaan. Kita mengingat episode historis-religius itu menguatkan basis
referensial Pancasila. Pilihan nama Pancasila saja sudah mengangkut
anasir-anasir religius sejak masa silam. Istilah itu merujuk ke etik-religius
Buddha. Kita pun bisa menilik ke sejarah pilihan istilah saat pidato ihwal
Pancasila: 1 Juni 1945. Sukarno tak memilih istilah Panca Dharma. Kata “dharma”
berarti kewajiban. Sukarno memilih istilah Pancasila. Sila berarti asas atau
dasar. Jejak istilah ini mengentalkan makna-makna religius.
Petilan-petilan sejarah ini
mengantarkan kita ke relasi-sinkronisitas doa dan Pancasila. Doa menjadi
pijakan. Indonesia pun antologi doa. Konstruksi dan pengisahan Indonesia
bergerak di arus doa. Sukarno adalah pendoa. Sukarno memberi makna doa dalam
bingkai politik-kultural Indonesia. Doa Sukarno menarik sejarah silam dan
memendarkan pengharapan-optimisme untuk Indonesia. Kita mafhum bahwa doa
menjelma akar Indonesia.
Tamsil tentang Indonesia dan alur
religius diajukan Sukarno di buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat
Indonesia (1966) susunan Cindy Adams. Idiom-idiom religius dan doa
kerap digunakan oleh Sukarno. Tamsil impresif diajukan Sukarno: “Allah memberi
pikiran kepada kita, agar supaja dalam pergaulan kita sehari-hari kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaja keluar dari padanja
beras dan beras itu akan mendjadi nasi Indonesia jang sebaik-baiknja.” Sukarno
terasa fasih menguak-mewartakan bahasa-bahasa simbolik-religius untuk
pemartabatan Indonesia.
Pengalaman religius Sukarno adalah
rujukan kita untuk mengembalikan Pancasila sebagai ejawantah ekspresif tentang
jejak-jejak pertautan Indonesia dengan pelbagai peradaban dan agama. Doa justru
mengajarkan kepada kita ihwal basis religius negara dan kontinuitas religius
dalam proses berbangsa selama ribuan tahun. Sukarno pun kita mengerti sebagai
sosok pengabar etik-religius di arus sejarah Indonesia. Indonesia merupakan
antologi doa dan politik kendati menanggungkan kolonialisme. Sukarno tampil
untuk pemaknaan Indonesia berbasis doa.
Kita menemukan ejawantah religius
memancar di arus politik. Kondisi ini mengartikan pemisahan agama dan negara
tak berlaku di Indonesia. Agama justru menjadi akar dari konstruksi
negara-bangsa. Doa Sukarno dan Pancasila itu secuil dari selebrasi doa para
penggerak bangsa selama ratusan tahun saat melawan kolonialisme dan
mendefinisikan diri. Doa melampaui nalar politik. Doa tak sekadar ada dalam
ranah ibadah. Doa adalah segala.
Ritus doa menjelang Pancasila pun
meresap ke semua pandangan Sukarno: kebangsaan Indonesia, internasionalisme
atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, ketuhanan.
Sukarno mengingatkan ada referensi-referensi simbolik dalam Pancasila. Agenda
mengamalkan Pancasila mesti mengandung anutan doa sebagai landasan hidup.
Pancasila tak sekadar rangkaian kata. Pancasila itu jelmaan doa menggerakkan
Indonesia.
Doa dalam pengalaman religius Sukarno
adalah kekuatan: emansipatif dan reflektif. Strategi politik-religius ini
representasi dari pergumulan Sukarno ke jagat ajaran dan praksis Islam.
Pandangan Sukarno tentang Islam mengental selama menanggung hukuman pembuangan
di Endeh (1930-an). Sukarno melakukan korespondensi dan adu argumentasi bersama
tokoh Persatuan Islam di Bandung: T.A. Hasan. Sukarno pun mafhum bahwa Islam
adalah “kemadjoean”. Islam sanggup menjadi energi politik untuk pemerdekaan dan
pemartabatan (Lubis, 2010). Konklusi ini mengantarkan Sukarno atas hikmah doa
dalam mengkonstruksikan falsafah negara: Pancasila. Doa adalah lambaran
religi-politik.
Doa adalah jejak asali manusia. Doa
adalah segala. Kita pun mafhum bahwa pengisahan doa dan Pancasila oleh Sukarno
membuktikan kuasa Tuhan dalam pembentukan-pelanggengan Indonesia. Afirmasi doa
pun hadir dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai deklarasi tentang etik-religius di
arus politik Indonesia. Sukarno adalah pendoa. Indonesia lahir dari doa. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 03 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar