Kelik M. Nugroho
PEMILIK SITUS www.piringanhitam.com
Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna tradisi
digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian lokal. Ada
sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan berbawahan sarung
bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan batang kayu di
lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki dewasa berpakaian
tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang pamanca).
Namun yang paling penting justru ketika Maing, Ketua
Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih. “Kepala desa
terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami menerapkan
nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,”
kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri
pada 10 Mei 2012.
Orang-orang pun bertepuk tangan. Maklum, belakangan
ini banyak pemilihan kepala daerah di Indonesia yang berekses konflik sosial
yang berdarah-darah. Sipakatau adalah nasihat yang
mengharuskan orang memberikan penghargaan kepada seluruh manusia tanpa
memandang derajat, sedangkan sipakainga adalah saling
mengingatkan untuk kebaikan. Dua nilai itu merupakan bagian dari nilai-nilai
adat-istiadat masyarakat Maros, yang berlokasi dekat dari Makassar.
Kabupaten Maros menjadi salah satu dari 10 kabupaten
yang dijadikan proyek percontohan (pilot project) program pelestarian
adat-istiadat dan budaya Nusantara (PABN) yang dilaksanakan Direktorat
Pemberdayaan Adat Sosial Budaya Masyarakat, Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Kementerian Dalam Negeri. Program ini telah berlangsung selama
tiga tahun dan tahun ini memasuki tahap terakhir implementasi.
Program pelestarian adat ini dimaksudkan untuk
mendukung terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan
pembangunan di desa berdasarkan otonomi asli, melalui upaya mendorong
kemandirian masyarakat untuk meningkatkan karakter dan kesejahteraan masyarakat
serta sebagai upaya pengembangan budaya nasional.
Strategi pelaksanaannya dilakukan melalui identifikasi
nilai budaya, penguatan lembaga adat dan aparat desa, pengembangan model
koordinasi, pelestarian adat dan budaya, serta revitalisasi nilai sosial dan
budaya yang ditransformasikan dengan kondisi kekinian dan tantangan masa depan
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa
dan inisiatif masyarakat setempat.
Setelah tiga tahun program ini berjalan, kini telah
terbentuk lembaga adat di seluruh desa lokasi proyek percontohan, serta telah
tersusun sejarah dan profil budaya desa dalam dokumen. Muatannya antara lain
hasil identifikasi sistem nilai yang telah digali dan direkonstruksi kembali
sebagai roh dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pengaturan
masyarakat desa.
Desa Botolempangan di Kabupaten Maros adalah salah
satu contoh yang berhasil menjalankan program ini. Desa ini telah menggali,
merekonstruksi, bahkan menerapkan nilai-nilai adat lokal seperti sipakatau,
sipakainga, dan sipakkalebbi (memperlakukan manusia
sepantasnya). Mereka juga memiliki nilai-nilai lokal yang mesti dimiliki
seorang pemimpin, yaitu macca na malempu(pintar dan jujur), waran
na magetteng (berani dan konsisten), dan tudang sipulung(bermusyawarah
mufakat dalam pengambilan keputusan).
Dari sisi regulasi, desa ini telah mengeluarkan tiga
peraturan lembaga adat desa, antara lain tentang pengelolaan zakat, infak, dan
sedekah, tentang tata cara pelaksanaan hajatan pernikahan, tentang pemberian
rekomendasi calon kepala desa, serta keputusan lain tentang penyelesaian
sengketa tanah dan perselisihan antarwarga. Berlangsungnya pemilihan kepala
desa yang baru saja berlalu secara damai adalah salah satu hasil nyata dari
rekonstruksi kepemerintahan (governance) berbasis adat budaya lokal ini.
Dari sisi ekonomi, program pelestarian adat ini
mendorong peningkatan kemandirian ekonomi masyarakat yang berbasis potensi
lokal melalui pelatihan kewirausahaan dan pembinaan usaha-usaha ekonomi
kreatif, seperti kuliner, kerajinan, kesenian, wisata spiritual, dan festival
budaya.
Untuk mencapai misi besar dari pemerintah pusat ini
tentu tak semudah mengedipkan mata. Menurut Maing, selama ini masyarakat
khususnya generasi muda tidak terlalu tertarik untuk memahami adat dan budaya
lokal, karena ekses dari perkembangan teknologi modern. Kendala lain,
terbatasnya anggaran di desa untuk membiayai infrastruktur kelembagaan adat dan
pelestarian adat-istiadat serta budaya. Karena itu, menjadi pekerjaan rumah
bagi masyarakat seusai pelaksanaan proyek percontohan--yang dibiayai pemerintah
pusat--mereka harus bisa melanjutkan program secara mandiri.
Program pelestarian adat budaya versi Kemendagri ini
perlu diberi catatan kritis. Secara idiil, upaya pelestarian adat dan budaya
lokal ini mesti diapresiasi. Jika kita menengok ke belakang, pembangunan desa
di Indonesia pada masa Orde Baru selama sekitar 30 tahun menganut paham
pembangunanisme, yang menekankan pada aspek perkembangan ekonomi. Juga dalam
pembangunan, pemerintahan Orde Baru bersikap top-down, yang cenderung
menumpulkan inisiatif dari masyarakat. Jadi, dari sisi ini, program pelestarian
adat versi Kemendagri ini suatu kemajuan.
Namun ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh
pemerintah. Bahwa kinerja birokrasi pemerintah selama ini tidak solid-solid
amat. Ego sektoral kementerian selama ini masih kuat. Program pelestarian adat
dan budaya lokal ini mestinya dikerjakan secara lintas kementerian. Sebab,
kalau tidak, akan terjadi tumpang-tindih program dan anggaran di lapangan. Hal
lain yang perlu dilakukan adalah pemetaan masalah pembangunan desa berbasis
adat dan budaya lokal. Pembangunan desa berbasis budaya lokal adalah masalah
yang sangat kompleks, dan tampaknya tidak semua daerah bisa diperlakukan secara
pukul rata. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 20 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar