Dion Pare
PEMINAT
MASALAH PENDIDIKAN
Satu masalah yang sering mengemuka
dalam pendidikan kita adalah bahwa para lulusan sekolah kita lebih merupakan
manusia hafalan. Hal itu terjadi karena proses pembelajaran di sekolah-sekolah
masih lebih banyak menekankan ceramah dan kurang demokratis. Para guru
berbicara dan memberi tahu apa yang mereka ketahui kepada para murid, dan para
murid harus mengingat setiap informasi itu. Potensi yang diandalkan dari pihak
murid adalah kemampuan mengingat. Akibatnya, siswa kurang bebas mengembangkan
pikiran dan gagasannya (Paul Suparno dalam J. Drost, 2006).
Persoalan-persoalan semacam itu bisa
diatasi bila terjadi perubahan metode belajar dari kebiasaan menghafal ke
kebiasaan tempat belajar berpikir (Buchori, 1995). Pengajaran atau tepatnya
proses pembelajaran adalah proses menjadikan yang diajar belajar. Sebetulnya,
tak seorang pun bisa dan pernah bisa menjadikan orang lain pandai. Hanya diri
orang itu sendirilah yang dapat membuat dirinya pandai lewat belajar. Hanya
orang itu sendirilah yang bertumbuh atas hal apa yang diketahuinya.
Persoalannya adalah: metode apa yang
membuat murid belajar secara lebih efektif dan bertumbuh dalam hal apa yang
diketahuinya? Penulis mengintroduksi kembali metode yang membuat para murid
bertumbuh dalam kemampuan berpikir: metode Sokratik.
Ini bukanlah metode baru. Metode ini
banyak ditemukan dalam dialog-dialog Plato. Gilbert Highet, seorang akademisi
AS, dalam bukunya The Art of Teaching (1950) menyebut metode
ini bersama-sama metode ceramah dan diskusi. Adapun Mortimer J. Adler, seorang
filsuf pendidikan Amerika Serikat lain, dalam bukunya Paedia Program (2009)
memperkenalkan tiga metode mengajar, yaitu ceramah, pelatihan (coaching),
dan seminar dengan metode Sokratik. Metode Sokratik itulah yang terpenting
karena, dengan metode ini, siswa memperoleh pemahaman dan hasilnya paling
bertahan.
Guru tetaplah memiliki peran penting.
Dalam metode ini, guru berperan untuk membantu membangkitkan atau menumbuhkan
pikiran. Guru bukanlah sebab atau kekuatan yang menumbuhkan. Murid sendirilah
kekuatan untuk berpikir.
Dengan metode Sokratik, guru
mengajukan dan menjernihkan ide-ide dan isu-isu yang muncul dari materi yang
dibaca atau sesuatu yang dialami bersama guru dan murid. Guru bukanlah pemberi
jawaban. Guru mengajukan pertanyaan, mengajukan contoh-contoh, merumuskan lagi
pertanyaan, mengangkat aspek-aspek lain, dan menunjukkan kepada murid untuk
dipertimbangkan. Guru merangsang murid untuk berpikir, untuk memahami dan
mengapresiasi, serta semakin memahami dan mengapresiasi. Dengan cara ini,
metode Sokratik membantu teman diskusi (para siswa) untuk melahirkan ide-ide.
Karena itu, metode pengajarannya disebut sebagai metode bidan (maieutic?),
analog dengan peran bidan yang membantu para ibu melahirkan (Adler).
Metode bertanya dan diskusi itu
merangsang imajinasi dan intelektualitas dengan kemampuan kreatif dan mencari.
Diskusi membangkitkan keterampilan siswa dalam membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan serta menggunakan secara tajam kemampuan untuk berpikir secara
jernih, kritis, dan reflektif.
Dengan metode Sokratik, kata Highet,
mengajar tidak lagi berarti menuangkan ide-ide baru ke dalam pikiran murid yang
kosong, tetapi menarik kebenaran dari pikiran, tempat ide-ide itu telah
tersedia. Semua pengajaran dijalankan dengan percakapan. Guru hanya bertanya,
dan para murid didorong untuk menjawab. Pertanyaan diajukan untuk mengarahkan
jawaban murid. Metode ini merupakan kombinasi dari bertanya dan mengarahkan
mereka ke jawaban yang benar.
Gaya mengajar ini didasarkan pada prinsip
bahwa pendidikan adalah seni menarik apa yang ada dalam pikiran murid. Karena
itu, ketika dialog berakhir, murid merasa tidak mendapat sesuatu dari gurunya,
tetapi ia sendiri bertumbuh, berkembang. Sebab, para murid mempersiapkan
pelajarannya sendiri. Murid belajar dari kritik yang disampaikan oleh
pembimbing, baik dalam rumusan umum maupun detailnya. Belajar dari melakukan
sendiri, mengamati kesalahan yang ia buat, dan juga mempertahankan ide-ide yang
ia yakini benar.
Metode Sokratik dijalankan dalam
seminar-seminar kelas di mana para siswa membaca laporan yang dipersiapkan
dengan baik tentang masalah tertentu yang ia pilih dan mempertahankan
kesimpulannya dari kritik teman-teman sekelas atau gurunya. Ketika membahas
atau mendiskusikan satu pertanyaan dengan orang lain, argumen yang dikemukakan
menjadi pencarian bersama dengan berpikir di mana guru sendiri terlibat,
membantu orang lain menemukan dan mencapai kebenaran.
Highet mengakui bahwa, tampaknya,
metode ini tidak banyak dipakai karena paling sulit. Adalah lebih mudah
mengajar dengan gaya kuliah untuk 50 hingga 60 orang daripada berdialog dengan
dua atau tiga siswa dalam waktu dua jam--bertanya, berdebat, terus bergeser ke
jawaban tertentu yang tidak boleh segera ditetapkan. Metode ini paling tidak
biasa karena menuntut jawaban terus-menerus, kesetiaan atau kesediaan untuk
mengejar kebenaran, baik pada pihak murid maupun guru. Kendala lain adalah soal
waktu, biaya, dan tenaga yang besar, serta identifikasi yang tak sehat dengan
sang guru yang tampak superior (Ho Kam-Fai, 1973).
Tetapi Adler yang mempraktekkan metode
ini selama 65 tahun dalam seminar-seminar di Sekolah Paedia (Paedia School)
meyakini bahwa metode inilah yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman.
Metode ini bahkan bisa dijalankan mulai dari kelas I sekolah dasar. Diakui
bahwa memang ada sejumlah kesulitan yang menghambat, baik pada pihak guru
maupun murid. Kesulitan itu bisa diatasi. Menurut dia, metode ini sudah
terbukti efektif. Hasilnya permanen dan sesuai dengan harapan dari kegiatan
belajar.
Guru-guru kita bukannya tidak tahu
metode ini. Mereka pun pernah mencobanya. Namun kelemahannya adalah bahwa kita
biasanya segera menghentikan praktek yang bagus hanya karena sejumlah hambatan,
dan kembali ke tata cara lama yang tidak efektif. [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 29 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar