Minggu, 10 Juni 2012

Teknologi Pemulihan Lahan Sakit


Tualar Simarmata
GURU BESAR FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Kesehatan dan kesuburan lahan sawah di Indonesia saat ini sudah sangat kritis, dan sebagian besar sudah sakit berat. Akibatnya, respons terhadap pemupukan semakin melandai (leveling off). Sementara produktivitas padi rata-rata nasional terus meningkatkan dari sekitar 2 ton pada 1960-an hingga menjadi sekitar 4,5 ton per ha pada 1990-an, dari periode 1990 hingga 2011 produktivitas hanya berkisar 4,6-4,9 ton per ha. Tanah yang telah mengalami degradasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai lahan sawah sakit dan kelelahan (sick soils and fatigue).
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) mengungkapkan, saat ini sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta ha) memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen C-org), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3persen C-org). Tanah dengan kandungan C-organik < 2persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3persen, maka kondisi tersebut sudah sangat kritis.

Teknologi pemulihan kesehatan lahan dapat dilakukan dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah hingga > 2 persen. Sumber utama kebutuhan bahan organik, yaitu jerami, tersedia dalam jumlah yang besar di lahan. Potensi produksi jerami sekitar 10 ton per ha (sekitar 1,5 x hasil gabah) atau setara dengan 4-6 ton kompos jerami per ha per musim. Potensi jerami sebagai pupuk untuk mensubstitusi pupuk anorganik sangat besar, yaitu setiap 5 ton jerami setara dengan 75 kg urea, 25 kg SP-36, dan 125 kg KCl. 
Kendala utama penggunaan jerami secara langsung berkaitan erat dengan adanya bibit penyakit dalam jerami dan tingginya C/N ratio. Kompos jerami, selain kaya akan C-organik (sekitar 30 -40persen), juga mengandung hara yang lengkap, baik makro (1,5 persen N, 0,3-0,5 persen P2O5, 2-4 persen K2O, 3-5 persen SiO2) maupun mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo) dan mengandung organisme menguntungkan. 
Potensi pupuk hayati untuk meningkatkan ketersediaan hara, efisiensi pemupukan, mensubstitusi pupuk anorganik, dan meningkatkan kesehatan tanaman dan produksi padi sangat besar. Saat ini sudah tersedia pupuk hayati majemuk. Efektivitas pupuk hayati ini sangat bergantung pada ketersediaan bahan organik sebagai sumber energi. Konsekuensinya, efektivitasnya sangat berkaitan erat dengan aplikasi kompos jerami. Aplikasi kompos jerami disertai pemberian pupuk Bio dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi sekitar 25-50 persen dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25-50 persen.
Pemulihan kesuburan lahan sawah berkelanjutan (PKLSB) merupakan konsep pemberdayaan terpadu dengan memaduserasikan peranan pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan. Untuk mempercepat pemulihan dan peningkatan produksi padi, pemerintah pada 2010 mengintroduksi PKLSB yang tertuang dalam selembar peraturan Menteri Pertanian pada 2010.
Tujuannya: (1) Pemberdayaan petani untuk memanfaatkan limbah tanaman terutama jerami padi dalam penyediaan pupuk organik in situ; (2) Meningkatkan produktivitas lahan sawah yang berkelanjutan melalui penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati; (3) Meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, dan; (4) Secara bertahap mengurangi beban anggaran subsidi pupuk. Lokasi kegiatan yaitu daerah sentra produksi padi di 8 provinsi (Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan).
Pemerintah memberikan paket bantuan sarana produksi kegiatan PKLSB per hektare, terdiri atas dekomposer 2 kg (Vitadegra) dan pupuk hayati atau pupuk BIO 400 gram (Vitabio). Paket bantuan dikenal juga sebagai program BIO-DEKOMPOSER, yaitu pemanfaatan dekomposer (mikroba perombak bahan organik beragen hayati) untuk mempercepat pengkomposan jerami langsung di lahan (in situ), meningkatkan kualitas kompos jerami (kandungan hara utama N, P, K, Si, dan hara mikro, KTK) dan menekan patogen dalam jerami. 
Sedangkan untuk meningkatkan ketersediaan hara, efisiensi pemupukan, dan kesehatan tanaman digunakan pupuk BIO atau hayati majemuk (Vitabio). Dekomposer beragen hayati digunakan pada saat pengkomposan jerami, sedangkan pupuk BIO diaplikasikan di lahan yang telah diberi kompos jerami sebelum penanaman. Kegiatan ini diawali dengan sosialisasi dan pelatihan teknologi bagi para petugas dan kelompok tani secara berjenjang oleh para narasumber. Selanjutnya, pengawalan dan pendampingan teknologi di lapangan dilakukan oleh petugas dari dinas pertanian.
Program PKLSB mendapat respons yang sangat positif di lapangan dan memberikan indikasi pemulihan kesuburan lahan serta peningkatan hasil tanaman padi. Hasil evaluasi yang dilakukan di 8 Provinsi pada 30 titik pewakil oleh Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 menunjukkan bahwa terdapat perbaikan yang signifikan pada sifat biologis tanah. Secara indikatif, kandungan C organik meningkat dari 1,28 persen menjadi 1,49 persen, KTK meningkat dari 15,3 menjadi 17,2 (cmol per 100 g), tetapi kenaikan ini termasuk berbeda tidak nyata dibandingkan dengan sebelum aplikasi. 
Hal ini dapat dipahami karena aplikasi kompos jerami dan pupuk hayati baru sekali, sedangkan untuk memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah diperlukan sekitar 6 musim ( 3 tahun). Lebih lanjut disarankan, untuk mempercepat pemulihan lahan diperlukan dosis kompos jerami diberikan > 2,5 ton per ha dan diberikan secara kontinu. Sangat disayangkan kegiatan PKLSB pada 2011 menemui kendala, sehingga tidak dapat dilaksanakan. Keberlanjutan PKLSB sangat diperlukan untuk mempercepat pencapaian kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk itu, diperlukan peran dan kontribusi dari berbagai pihak untuk meningkatkan efektivitas dan keberhasilan program ini. [*]

Sumber: Koran Tempo Minggu, 10 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar