Tualar
Simarmata
GURU
BESAR FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Kesehatan
dan kesuburan lahan sawah di Indonesia saat ini sudah sangat kritis, dan
sebagian besar sudah sakit berat. Akibatnya, respons terhadap pemupukan semakin
melandai (leveling off). Sementara produktivitas padi rata-rata nasional
terus meningkatkan dari sekitar 2 ton pada 1960-an hingga menjadi sekitar 4,5
ton per ha pada 1990-an, dari periode 1990 hingga 2011 produktivitas hanya
berkisar 4,6-4,9 ton per ha. Tanah yang telah mengalami degradasi tersebut
dapat dikelompokkan sebagai lahan sawah sakit dan kelelahan (sick soils and
fatigue).
Balai
Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) mengungkapkan, saat ini
sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta ha) memiliki kandungan C-organik
yang sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2persen), 22 persen memiliki
kandungan C-organik sedang (2-3 persen C-org), dan 4 persen memiliki kandungan
C-organik tinggi (> 3persen C-org). Tanah dengan kandungan C-organik <
2persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan
dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3persen, maka
kondisi tersebut sudah sangat kritis.
Teknologi
pemulihan kesehatan lahan dapat dilakukan dengan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah hingga > 2 persen. Sumber utama kebutuhan bahan organik, yaitu
jerami, tersedia dalam jumlah yang besar di lahan. Potensi produksi jerami
sekitar 10 ton per ha (sekitar 1,5 x hasil gabah) atau setara dengan 4-6 ton
kompos jerami per ha per musim. Potensi jerami sebagai pupuk untuk mensubstitusi
pupuk anorganik sangat besar, yaitu setiap 5 ton jerami setara dengan 75 kg
urea, 25 kg SP-36, dan 125 kg KCl.
Kendala
utama penggunaan jerami secara langsung berkaitan erat dengan adanya bibit
penyakit dalam jerami dan tingginya C/N ratio. Kompos jerami, selain kaya akan
C-organik (sekitar 30 -40persen), juga mengandung hara yang lengkap, baik makro
(1,5 persen N, 0,3-0,5 persen P2O5, 2-4 persen K2O, 3-5 persen SiO2) maupun
mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo) dan mengandung organisme menguntungkan.
Potensi
pupuk hayati untuk meningkatkan ketersediaan hara, efisiensi pemupukan,
mensubstitusi pupuk anorganik, dan meningkatkan kesehatan tanaman dan produksi
padi sangat besar. Saat ini sudah tersedia pupuk hayati majemuk. Efektivitas
pupuk hayati ini sangat bergantung pada ketersediaan bahan organik sebagai
sumber energi. Konsekuensinya, efektivitasnya sangat berkaitan erat dengan
aplikasi kompos jerami. Aplikasi kompos jerami disertai pemberian pupuk Bio
dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi sekitar 25-50 persen dan
mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25-50 persen.
Pemulihan
kesuburan lahan sawah berkelanjutan (PKLSB) merupakan konsep pemberdayaan
terpadu dengan memaduserasikan peranan pemerintah, akademisi, swasta, dan
masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan. Untuk
mempercepat pemulihan dan peningkatan produksi padi, pemerintah pada 2010
mengintroduksi PKLSB yang tertuang dalam selembar peraturan Menteri Pertanian
pada 2010.
Tujuannya:
(1) Pemberdayaan petani untuk memanfaatkan limbah tanaman terutama jerami padi
dalam penyediaan pupuk organik in situ; (2) Meningkatkan
produktivitas lahan sawah yang berkelanjutan melalui penggunaan pupuk organik
dan pupuk hayati; (3) Meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, dan;
(4) Secara bertahap mengurangi beban anggaran subsidi pupuk. Lokasi kegiatan
yaitu daerah sentra produksi padi di 8 provinsi (Provinsi Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Sulawesi Selatan).
Pemerintah
memberikan paket bantuan sarana produksi kegiatan PKLSB per hektare, terdiri
atas dekomposer 2 kg (Vitadegra) dan pupuk hayati atau pupuk BIO 400 gram
(Vitabio). Paket bantuan dikenal juga sebagai program BIO-DEKOMPOSER, yaitu
pemanfaatan dekomposer (mikroba perombak bahan organik beragen hayati) untuk
mempercepat pengkomposan jerami langsung di lahan (in situ),
meningkatkan kualitas kompos jerami (kandungan hara utama N, P, K, Si, dan hara
mikro, KTK) dan menekan patogen dalam jerami.
Sedangkan
untuk meningkatkan ketersediaan hara, efisiensi pemupukan, dan kesehatan
tanaman digunakan pupuk BIO atau hayati majemuk (Vitabio). Dekomposer beragen
hayati digunakan pada saat pengkomposan jerami, sedangkan pupuk BIO
diaplikasikan di lahan yang telah diberi kompos jerami sebelum penanaman.
Kegiatan ini diawali dengan sosialisasi dan pelatihan teknologi bagi para
petugas dan kelompok tani secara berjenjang oleh para narasumber. Selanjutnya,
pengawalan dan pendampingan teknologi di lapangan dilakukan oleh petugas dari
dinas pertanian.
Program
PKLSB mendapat respons yang sangat positif di lapangan dan memberikan indikasi
pemulihan kesuburan lahan serta peningkatan hasil tanaman padi. Hasil evaluasi
yang dilakukan di 8 Provinsi pada 30 titik pewakil oleh Balai Besar Litbang
Pertanian pada 2011 menunjukkan bahwa terdapat perbaikan yang signifikan pada
sifat biologis tanah. Secara indikatif, kandungan C organik meningkat dari 1,28
persen menjadi 1,49 persen, KTK meningkat dari 15,3 menjadi 17,2 (cmol per 100
g), tetapi kenaikan ini termasuk berbeda tidak nyata dibandingkan dengan
sebelum aplikasi.
Hal
ini dapat dipahami karena aplikasi kompos jerami dan pupuk hayati baru sekali,
sedangkan untuk memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah diperlukan sekitar 6
musim (� 3 tahun). Lebih lanjut disarankan,
untuk mempercepat pemulihan lahan diperlukan dosis kompos jerami diberikan >
2,5 ton per ha dan diberikan secara kontinu. Sangat disayangkan kegiatan PKLSB
pada 2011 menemui kendala, sehingga tidak dapat dilaksanakan. Keberlanjutan
PKLSB sangat diperlukan untuk mempercepat pencapaian kedaulatan pangan dan
meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk itu, diperlukan peran dan kontribusi
dari berbagai pihak untuk meningkatkan efektivitas dan keberhasilan program
ini. [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 10 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar