Bandung Mawardi
AKTIVIS SASTRA
Orang-orang tergesa meramalkan masa depan buku
(elektronik) sebelum rampung mengenangkan masa lalu buku (cetak). Umberto Eco,
novelis asal Italia, mengaku sungkan membaca edisi buku elektronik karena bisa
membuat mata rabun. Eco justru menghendaki terus menjalani ritus membaca buku
cetak. Nostalgia, emosionalitas, sentimentalitas, dan aliran waktu kerap
tersimpan di buku cetak. Eco mengandaikan diri menemukan buku masa kecil di
gudang. Takjub, haru, dan keajaiban bakal teralami dalam tautan diri, buku, serta
waktu. Eco (Tempo, 30 Oktober 2011) mengatakan, "Ada emosi bergerak
di situ."
Pemaknaan buku cetak oleh Eco ada di
zaman kalap teknologi. Segala hal mengalami percepatan, perluasan, peringkasan,
dan penggandaan oleh teknologi. Orang-orang mulai mendua untuk menerima buku
dalam format cetak dan elektronik. Nalar teknologis memihak selebrasi buku
elektronik dengan dalil pencanggihan medium, ruang, harga, tubuh, dan waktu.
Puja teknologi melalui ejawantah buku elektronik memang mengagendakan selebrasi
masif literasi di dunia, tapi perlahan bisa menghilangkan memori ajaib tentang
manusia dan buku.
Nostalgia
Kita bakal susah menemukan nostalgia
fantastis ala Karl Marx. Konon, sosok berjenggot lebat ini memiliki agenda
harian monoton: bangun pukul 7, minum kopi pahit, dan masuk ruang belajar.
Membaca adalah ibadah harian. Marx membaca kala siang dan malam: keranjingan
tak terelakkan. Marx mencandui buku: memandangi, membaui, dan menyentuhi. Tubuh
bersua buku. Cumbuan mesra tubuh dan buku bergerak dalam waktu: gairah melimpah
dan hening. Buku seolah mengundang mata (tubuh) untuk luluh bersama waktu. Laku
membaca Marx itu mistisisme di sebuah zaman radikal.
Hidup Marx adalah antologi buku. Marx
"berumah" di buku. Laku ini menghasilkan pikiran-pikiran mencengangkan,
mengubah sejarah dunia, dan membuat gerah kapitalisme. Kita mendapati tubuh
Marx melakukan perjumpaan-perjumpaan intensif dengan buku cetak: asmara tak
fana. Babak sejarah menentukan adalah kebiasaan Marx mengunjungi The British
Museum untuk takzim membaca buku. Konon, Marx memerlukan 16 jam untuk
percumbuan buku. Ibadah ini berlangsung dari hari ke hari tanpa jenuh. Marx
sadar akan ruang, rak, tubuh, meja, lampu, lantai, tembok, dan bau. Semua
mengkondisikan buku dalam sentuhan-sentuhan mistis.
Marx itu tubuh berkitab. Kita bisa
membayangkan melalui narasi Paul Lafarge tentang ruang buku tempat ibadah Marx.
Ruangan itu berisi rak-rak sesak buku dan tumpukan buku di atas meja. Buku-buku
berserakan di ruangan bercampur dengan cerutu, korek api, tempat tembakau, dan
foto. Lafarge menjelaskan, "Ia tak akan mengizinkan siapa pun mengatur
buku-buku dan kertas-kertas di ruang itu." Semua ini mengandaikan puja
buku Marx mengacu pada sinkronisitas tubuh, ruang, buku, dan waktu. Marx hidup
bersama buku-buku cetak. Marx menemui ajal pun di ruang ibadah buku.
Masa lalu buku dan Marx itu sudah ada
di zaman mutakhir. Buku cetak mungkin menapaki "kehampaan cerita"
oleh dominasi teknologi. Kita bakal mendapati para penulis dan pembaca lahir di
pencanggihan teknologi. Ribuan buku di ruangan bisa tersimpan secara efisien
dalam benda kotak pipih. Bau buku sirna. Sentuhan tangan tak ada. Intimitas
tubuh, buku, dan ruang menjelang ajal. Masa depan buku cetak memang rawan dan
kelam.
Candu
Teknologi bisa jadi mala. Sven
Bickerts (1994) memberi seruan bahwa kita dalam kegawatan karena terlalu
mempercayai kecepatan dan keajaiban teknologi (elektronik). Mitos tentang
teknologi-literasi dalam bentuk elektronik untuk emansipasi dan mengentengkan
kerja membaca alias membuka lembaran-lembaran buku telah menjauhkan kita dari
"keheningan." Puja buku elektronik itu elegi: laku meditatif dan
hening berganti kemeriahan teknologi-elektronik (Wijanarko, 2000). Buku cetak
mulai menjelma kenangan. Cumbuan tubuh, buku, ruang, dan waktu telah diringkas
oleh teknologi dengan menepikan ritus meditatif.
Buku cetak pun memuat kenangan atas
biografi dua tokoh intelektual moncer di Indonesia: Tan Malaka dan Mohammad
Hatta. Tan Malaka bergerak bersama buku. Buku Madilog menjadi bukti pergumulan fantastis dan
heroik. Buku itu ditulis sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Tan Malaka
melakukan ibadah membaca dan menulis saban hari selama dalam pelarian. Buku
adalah berkah serta mala dalam persinggungan politik dan laku intelektual. Tan
Malaka mencandui buku-buku, tapi sanggup "menghilangkan",
"menyembunyikan", dan "membuang" buku demi alasan-alasan
politis serta ideologis.
Tan Malaka mengenali rupa, bau, dan
berat pelbagai buku. Tubuh dan buku mengalami pertemuan dalam situasi politik represif
serta zaman sulit. Tan Malaka mengenangkan nostalgia diri dan buku sebagai
kemanunggalan. Episode pembuangan Tan Malaka dari Indonesia, 22 Maret 1922,
diiringi satu peti besar berisi buku: agama, politik, ekonomi, dan sains.
Biografi impresif juga ada dalam sosok Mohammad Hatta. Intelektual moncer ini
mengalami pembuangan ke Digul (1935) dengan membawa 16 peti berisi buku:
ekonomi, filsafat, dan politik. Hatta di tanah hukuman justru mencipta
perpustakaan dan merawat candu buku yang tak mengenal waktu. Pergi dengan
peti-peti buku adalah keganjilan dan kenaifan, meski menampilkan heroisme.
Nostalgia atas gairah buku dengan
kesadaran menata, membawa, memegang, dan memandang bakal pudar oleh agenda
pencanggihan teknologi dan pembangkrutan tubuh manusia-buku. Manusia-manusia
mutakhir mulai menceraikan diri dengan buku-buku cetak demi mengafirmasi iman
literasi elektronik. Buku cetak memang masih memiliki masa lalu sebagai ingatan
rindu-dendam atas zaman dan manusia. Ingatan-ingatan itu mungkin akan lekas
terbunuh oleh buku (elektronik). [*]
Sumber [Koran Tempo Minggu, 8 Januari 2012]
Sumber [Koran Tempo Minggu, 8 Januari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar