Minggu, 29 Januari 2012

Perempuan dan Kutukan Segregasi

Ahmad Sahidah
PHD. DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA


Angkutan busway adalah satu jalan keluar untuk menjadikan Ibu Kota lebih ramah lingkungan. Dengan angkutan massal, warga Jakarta bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, yang tak hanya memboroskan bensin, tapi juga menyebabkan kemacetan, dan yang tak kalah dahsyatnya: menghambur-hamburkan bahan bakar dengan sia-sia. Kerugian dari kemacetan yang menyentuh angka triliunan rupiah seharusnya mengentak akal sehat kita dan pada gilirannya menuntut pemerintah serta wakil rakyat sungguh-sungguh memikirkan jalan keluar dan tindakan. Belum lagi tekanan akibat keadaan lalu lintas jalan raya yang macet telah turut menyumbang penurunan tingkat kenyamanan warga, dan pada gilirannya kejiwaan pribadi dan sosial mereka.
Pada waktu yang sama, usaha menjadikan angkutan umum moda transportasi yang nyaman ternyata turut menyumbang terjadinya tindak asusila, pelecehan seksual terhadap penumpang perempuan. Kejadian ini tentu hanya berlaku di negara-negara berkembang, karena di Barat sekalipun kita tak mendengar adanya pelecehan di angkutan umum. Betapa mereka menikmati angkutan umum tanpa terganggu, meskipun gerbong-gerbong kereta api dan badan bus dipenuhi penumpang. Adakah gagasan kebebasan perlu dipraktekkan di sini? Agar orang ramai tak lagi hanya memikirkan kebutuhan biologis, tapi merangkak pada keperluan yang lebih tinggi, semisal kasih sayang dan aktualisasi diri seperti diandaikan oleh Abraham Maslow dalam teori kebutuhan dasarnya. 


Pemisahan ruang 
Pemisahan lelaki dan perempuan di ruang publik tentu aneh. Bagaimana mungkin kekhawatiran segelintir agamawan tak juga hilang bahwa perempuan akan mendapat perlakuan tak senonoh di keramaian. Sejatinya, tabir (hijab) yang dipraktekkan oleh Nabi adalah ikhtiar penghormatan kepada perempuan, yang biasanya dilakukan dalam sebuah majelis ceramah atau pengajian dan konsultasi keagamaan. Tapi, dalam sejarah, di ruang publik lain, seperti perang, perempuan dan lelaki berbaur, tanpa sembarang kain pemisah. Betapa, sejatinya, pemisahan itu mengandaikan sesuatu yang tak sempat diungkap secara utuh. Biasanya segelintir agamawan mengutip satu ayat dan hadis untuk meringkus persoalan yang rumit menjadi slogan. 
Nah, kalau kita memandang segregasi yang acap kali dikritik oleh pemikiran Barat dan Islam liberal sebagai pengebirian hak-hak perempuan untuk turut serta dalam kehidupan masyarakat luas tentu masuk akal. Bagaimana mungkin kita memisahkan lelaki-perempuan, padahal mereka yang menggunakan cadar sekalipun tak canggung turun gelanggang. Kalau Anda sempat pergi ke pasar malam Tun Sardon, Pulau Pinang, Malaysia, ada dua perempuan yang berjualan sayur-mayur. Meskipun wajahnya tertutup cadar, pelanggan lelaki dan perempuan tak canggung membeli dagangan keduanya. Transaksi berjalan normal. Kami pun tak menganggap aneh, karena burka itu adalah pilihan.

Hubungan yang ideal
Kesetaraan dianggap kata kunci dalam hubungan lelaki-perempuan. Namun tak jarang konsep ini dianggap bias pandangan Barat yang cenderung menindas, yang tentu saja korbannya lelaki. Namun ini pun dapat dipahami, karena di negeri yang kental feodal ini, tak elok lelaki mengerjakan pekerjaan perempuan, seperti mencuci piring. Betapa dalam keluarga priayi, urusan dapur sepenuhnya diserahkan kepada istri dan anak putri, sedangkan pekerjaan luar dianggap layak untuk lelaki merupakan warisan budaya yang masih tersisa. Dari sini kita sebenarnya bisa mengurai pengertian ruang pribadi dan ruang publik yang menyembunyikan tirani patriarkat. 
Masalahnya, apakah ruang publik kita telah siap dengan pandangan kesetaraan bahwa perempuan berhak berada di ruang publik tanpa harus dibebani aturan norma-norma tertentu, seperti larangan membuka aurat di tempat umum? Nah, dari aturan inilah, tragedi rok mini mencuat ke permukaan. Meskipun demikian, kita tak bisa mengaitkan rok mini dengan kejahatan seksual, karena korban pelecehan boleh jadi berpakaian sopan atau malah menggunakan jubah dan kerudung. Kondisi berdempetan yang secara sengaja atau tidak menyebabkan sentuhan badan tak terelakkan.
Gagasan untuk membuatkan gerbong khusus bagi perempuan tentu langkah segera yang mungkin bisa mengatasi perlakuan tidak senonoh oleh pria iseng. Pendek kata, pemisahan itu tak ada bedanya dengan segregasi dalam pemahaman keagamaan konservatif, karena 'illat (ratio-legis) bermula dari kekhawatiran perempuan tidak dihormati oleh kaum lelaki. 
Tentu, lebih jauh, kita memikirkan mengapa pelecehan itu bisa terjadi. Alasannya tentu beraneka ragam. Segelintir lelaki itu mengalami kelainan sehingga memuaskan hasratnya di tempat umum. Sebagian yang lain "ketiban pulung", hasrat meledak, mangsa hadir mendadak. Atau hasrat itu hadir serta-merta karena mendatangkan sensasi, apatah lagi secara biologis yang bersangkutan tak pernah dan bahkan jarang merasakan sentuhan seperti itu. Harus diakui, di negeri di mana moralitas dijunjung tinggi, sementara hasrat harus dipenuhi melalui perkawinan, godaan untuk segera mencicipi tak tertahankan. Apalagi perkembangan teknologi, seperti telepon seluler yang memudahkan orang mengakses bahan-bahan pornografi, telah turut menyumbang munculnya kegusaran untuk mengail pengalaman seksual. 
Memang, kritik dari pendukung kebebasan rok mini perlu ditimbang. Kejahatan itu bukan pada tubuh, melainkan pada otak pelaku, yang memandang paha merupakan sumber nafsu. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa di negeri ini otak warga dijejali soal keharaman, dan pada waktu yang sama, sengaja atau tidak sengaja, kita sering melihat pendedahan "tubuh" untuk memancing hasrat? Katakanlah kita bersetuju dengan Barat bahwa tempat itu menjadi alasan untuk mengatur tubuh, sehingga di Barat sekalipun orang akan memandang aneh apabila seseorang hanya memakai dua lembar kain untuk menutup tubuhnya di ruang khalayak. Betapa kebebasan itu pun mengandaikan kepatutan, meskipun yang bersangkutan tak dikenai sanksi hukum. 
Karena itu, kita selayaknya menempatkan pandangan agamawan dalam wawasan memartabatkan manusia. Betapapun banyak orang mengolok-olok pandangan ulama yang kadang mendatangkan rasa geli. Misalnya, larangan perempuan memegang pisang, karena khawatir yang bersangkutan berpikir kotor dan melakukan perzinaan. Di media sosial, orang ramai menjadikan berita ini sebagai bahan olok-olok. Sejatinya kita harus memahami falsafah hukum bahwa andai pisang tak mendatangkan pikiran kotor, maka dengan sendirinya larangan itu batal. Demikian pula perzinaan dilarang dengan keras karena pelaku akan mendapatkan hukuman moral dari masyarakat, yang tentu akan terus menanggung beban ini hingga mati, karena hubungan yang tak diikat secara resmi mudah pergi.
Pada akhirnya segregasi itu, di satu sisi, kadang disederhanakan menjadi aturan pemisahan perempuan dan lelaki di ruang publik, seperti pemisahan penonton konser yang telah dipraktekkan di Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Tapi aneh jika kita abai bahwa pesantren-pesantren sebenarnya mengamalkan pandangan ini: memisahkan murid perempuan dan lelaki. Namun, perlahan tapi pasti, pesantren tradisional sekalipun telah berusaha membuka diri, meskipun hanya mahasiswa dan mahasiswi yang bisa duduk bersama dalam satu kelas, bukan kelas di bawahnya, seperti aliyah (setingkat sekolah menengah atas) dan tsanawiyah (sekolah menengah pertama). Ini berarti bahwa pesantren lambat-laun akan memahami bahwa penghormatan perempuan mungkin dilakukan ketika lelaki dan perempuan berjumpa serta berbicara. Namun, jika diperam, pelanggaran itu akan terus berlaku dan penjagaan perempuan dengan tirai (hijab) adalah palsu. 


[Sumber: Koran Tempo Minggu, 29 Januari 2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar