Ahmad Sahidah
PHD. DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA
Angkutan busway adalah satu jalan keluar
untuk menjadikan Ibu Kota lebih ramah lingkungan. Dengan angkutan massal, warga
Jakarta bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, yang tak hanya
memboroskan bensin, tapi juga menyebabkan kemacetan, dan yang tak kalah
dahsyatnya: menghambur-hamburkan bahan bakar dengan sia-sia. Kerugian dari
kemacetan yang menyentuh angka triliunan rupiah seharusnya mengentak akal sehat
kita dan pada gilirannya menuntut pemerintah serta wakil rakyat sungguh-sungguh
memikirkan jalan keluar dan tindakan. Belum lagi tekanan akibat keadaan lalu
lintas jalan raya yang macet telah turut menyumbang penurunan tingkat
kenyamanan warga, dan pada gilirannya kejiwaan pribadi dan sosial mereka.
Pada waktu yang sama, usaha menjadikan
angkutan umum moda transportasi yang nyaman ternyata turut menyumbang
terjadinya tindak asusila, pelecehan seksual terhadap penumpang perempuan.
Kejadian ini tentu hanya berlaku di negara-negara berkembang, karena di Barat
sekalipun kita tak mendengar adanya pelecehan di angkutan umum. Betapa mereka
menikmati angkutan umum tanpa terganggu, meskipun gerbong-gerbong kereta api
dan badan bus dipenuhi penumpang. Adakah gagasan kebebasan perlu dipraktekkan
di sini? Agar orang ramai tak lagi hanya memikirkan kebutuhan biologis, tapi merangkak
pada keperluan yang lebih tinggi, semisal kasih sayang dan aktualisasi diri
seperti diandaikan oleh Abraham Maslow dalam teori kebutuhan dasarnya.
Pemisahan ruang
Pemisahan lelaki dan perempuan di
ruang publik tentu aneh. Bagaimana mungkin kekhawatiran segelintir agamawan tak
juga hilang bahwa perempuan akan mendapat perlakuan tak senonoh di keramaian.
Sejatinya, tabir (hijab) yang dipraktekkan oleh Nabi adalah ikhtiar
penghormatan kepada perempuan, yang biasanya dilakukan dalam sebuah majelis
ceramah atau pengajian dan konsultasi keagamaan. Tapi, dalam sejarah, di ruang
publik lain, seperti perang, perempuan dan lelaki berbaur, tanpa sembarang kain
pemisah. Betapa, sejatinya, pemisahan itu mengandaikan sesuatu yang tak sempat
diungkap secara utuh. Biasanya segelintir agamawan mengutip satu ayat dan hadis
untuk meringkus persoalan yang rumit menjadi slogan.
Nah, kalau kita memandang segregasi
yang acap kali dikritik oleh pemikiran Barat dan Islam liberal sebagai
pengebirian hak-hak perempuan untuk turut serta dalam kehidupan masyarakat luas
tentu masuk akal. Bagaimana mungkin kita memisahkan lelaki-perempuan, padahal
mereka yang menggunakan cadar sekalipun tak canggung turun gelanggang. Kalau
Anda sempat pergi ke pasar malam Tun Sardon, Pulau Pinang, Malaysia, ada dua
perempuan yang berjualan sayur-mayur. Meskipun wajahnya tertutup cadar,
pelanggan lelaki dan perempuan tak canggung membeli dagangan keduanya. Transaksi
berjalan normal. Kami pun tak menganggap aneh, karena burka itu adalah pilihan.
Hubungan yang ideal
Kesetaraan dianggap kata kunci dalam
hubungan lelaki-perempuan. Namun tak jarang konsep ini dianggap bias pandangan
Barat yang cenderung menindas, yang tentu saja korbannya lelaki. Namun ini pun
dapat dipahami, karena di negeri yang kental feodal ini, tak elok lelaki
mengerjakan pekerjaan perempuan, seperti mencuci piring. Betapa dalam keluarga
priayi, urusan dapur sepenuhnya diserahkan kepada istri dan anak putri,
sedangkan pekerjaan luar dianggap layak untuk lelaki merupakan warisan budaya
yang masih tersisa. Dari sini kita sebenarnya bisa mengurai pengertian ruang
pribadi dan ruang publik yang menyembunyikan tirani patriarkat.
Masalahnya, apakah ruang publik kita
telah siap dengan pandangan kesetaraan bahwa perempuan berhak berada di ruang
publik tanpa harus dibebani aturan norma-norma tertentu, seperti larangan
membuka aurat di tempat umum? Nah, dari aturan inilah, tragedi rok mini mencuat
ke permukaan. Meskipun demikian, kita tak bisa mengaitkan rok mini dengan
kejahatan seksual, karena korban pelecehan boleh jadi berpakaian sopan atau
malah menggunakan jubah dan kerudung. Kondisi berdempetan yang secara sengaja
atau tidak menyebabkan sentuhan badan tak terelakkan.
Gagasan untuk membuatkan gerbong
khusus bagi perempuan tentu langkah segera yang mungkin bisa mengatasi
perlakuan tidak senonoh oleh pria iseng. Pendek kata, pemisahan itu tak ada
bedanya dengan segregasi dalam pemahaman keagamaan konservatif, karena 'illat (ratio-legis) bermula dari
kekhawatiran perempuan tidak dihormati oleh kaum lelaki.
Tentu, lebih jauh, kita memikirkan
mengapa pelecehan itu bisa terjadi. Alasannya tentu beraneka ragam. Segelintir
lelaki itu mengalami kelainan sehingga memuaskan hasratnya di tempat umum.
Sebagian yang lain "ketiban pulung", hasrat meledak, mangsa hadir
mendadak. Atau hasrat itu hadir serta-merta karena mendatangkan sensasi, apatah
lagi secara biologis yang bersangkutan tak pernah dan bahkan jarang merasakan
sentuhan seperti itu. Harus diakui, di negeri di mana moralitas dijunjung
tinggi, sementara hasrat harus dipenuhi melalui perkawinan, godaan untuk segera
mencicipi tak tertahankan. Apalagi perkembangan teknologi, seperti telepon
seluler yang memudahkan orang mengakses bahan-bahan pornografi, telah turut
menyumbang munculnya kegusaran untuk mengail pengalaman seksual.
Memang, kritik dari pendukung
kebebasan rok mini perlu ditimbang. Kejahatan itu bukan pada tubuh, melainkan
pada otak pelaku, yang memandang paha merupakan sumber nafsu. Tapi pernahkah
kita berpikir bahwa di negeri ini otak warga dijejali soal keharaman, dan pada
waktu yang sama, sengaja atau tidak sengaja, kita sering melihat pendedahan
"tubuh" untuk memancing hasrat? Katakanlah kita bersetuju dengan
Barat bahwa tempat itu menjadi alasan untuk mengatur tubuh, sehingga di Barat
sekalipun orang akan memandang aneh apabila seseorang hanya memakai dua lembar
kain untuk menutup tubuhnya di ruang khalayak. Betapa kebebasan itu pun mengandaikan
kepatutan, meskipun yang bersangkutan tak dikenai sanksi hukum.
Karena itu, kita selayaknya
menempatkan pandangan agamawan dalam wawasan memartabatkan manusia. Betapapun
banyak orang mengolok-olok pandangan ulama yang kadang mendatangkan rasa geli.
Misalnya, larangan perempuan memegang pisang, karena khawatir yang bersangkutan
berpikir kotor dan melakukan perzinaan. Di media sosial, orang ramai menjadikan
berita ini sebagai bahan olok-olok. Sejatinya kita harus memahami falsafah
hukum bahwa andai pisang tak mendatangkan pikiran kotor, maka dengan sendirinya
larangan itu batal. Demikian pula perzinaan dilarang dengan keras karena pelaku
akan mendapatkan hukuman moral dari masyarakat, yang tentu akan terus
menanggung beban ini hingga mati, karena hubungan yang tak diikat secara resmi
mudah pergi.
Pada akhirnya segregasi itu, di satu
sisi, kadang disederhanakan menjadi aturan pemisahan perempuan dan lelaki di
ruang publik, seperti pemisahan penonton konser yang telah dipraktekkan di
Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Tapi aneh jika kita abai bahwa
pesantren-pesantren sebenarnya mengamalkan pandangan ini: memisahkan murid
perempuan dan lelaki. Namun, perlahan tapi pasti, pesantren tradisional
sekalipun telah berusaha membuka diri, meskipun hanya mahasiswa dan mahasiswi
yang bisa duduk bersama dalam satu kelas, bukan kelas di bawahnya, seperti
aliyah (setingkat sekolah menengah atas) dan tsanawiyah (sekolah menengah
pertama). Ini berarti bahwa pesantren lambat-laun akan memahami bahwa
penghormatan perempuan mungkin dilakukan ketika lelaki dan perempuan berjumpa
serta berbicara. Namun, jika diperam, pelanggaran itu akan terus berlaku dan
penjagaan perempuan dengan tirai (hijab) adalah palsu.
[Sumber: Koran Tempo Minggu, 29 Januari 2012]
[Sumber: Koran Tempo Minggu, 29 Januari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar