Minggu, 22 Januari 2012

Networked Science dan Politik Pengetahuan


Dian Basuki
PEMINAT MASALAH SAINS 


Revolusi digital yang tengah berlangsung mengirim arus perubahan ke segenap sudut kehidupan manusia. Pelaku ekonomi, bisnis, dan keuangan telah memetik banyak manfaat dari perubahan-perubahan yang dibawa oleh teknologi Internet. Aktivitas pendidikan, politik, dan banyak bidang lain juga memanfaatkan keunggulan yang ditawarkan teknologi digital ini. Sains tidak termasuk dalam pengecualian, bila pengecualian itu memang ada.
Kerja kolaboratif menjadi salah satu peluang yang ditawarkan Internet dalam kerangka menghimpun pengetahuan. Beberapa perusahaan multinasional sudah memanfaatkan Internet untuk membangun jejaring pengetahuan di lingkungan internal. Karyawan, manajer, serta para ahli di lingkungan perusahaan dapat bertukar ilmu dan pengalaman. Dalam memecahkan persoalan yang pelik, pekerja di Indonesia dapat meminta atau menerima saran dari karyawan lain yang bertugas di Meksiko atau Kanada.
Fenomena itu tidak hanya terlihat dalam lingkungan korporat. Beberapa studi menunjukkan teknologi Internet memudahkan kerja kolaboratif di antara ilmuwan yang bekerja di lembaga yang berbeda-beda. Tim Gowers, matematikawan di Cambridge University, Inggris, pernah melakukan eksperimen pada awal 2009. Ia memilih sebuah persoalan matematika yang pelik dan berusaha memecahkannya secara terbuka. Gowers memakai blognya untuk menaruh ide-ide pemecahannya secara bertahap. 
Yang menarik, Gowers mengundang orang lain untuk menyumbangkan gagasan dengan pertimbangan "pikiran bersama" lebih ampuh ketimbang pikiran satu orang. Beberapa jam setelah Gowers mengundang partisipasi, seorang matematikawan Hungaria mem-posting komentar. Lima belas menit kemudian, Terence Tao--matematikawan di University of California Los Angeles--mengirim komentar pula. Diskusi pun berlangsung. Dalam waktu enam pekan, persoalan matematika itu terpecahkan--sebuah hasil kecerdasan kolektif.
Kehadiran teknologi Internet memang telah mendorong sains memasuki tahap baru, setidaknya bila mengikuti ide Diana Rhoten (The Dawn of Networked Science, 2007). Penelitian ilmiah, menurut Rhoten, telah melewati berbagai fase, yang dimulai dengan bench-top science, ketika ilmuwan secara individu melakukan riset sendiri. Lalu riset memasuki fase big science yang melibatkan banyak ilmuwan dalam satu program, misalnya Manhattan Project dengan tujuan menciptakan bom atom.
Fase berikutnya ialah team science, dengan peneliti yang dipekerjakan oleh banyak organisasi untuk melakukan riset pada satu proyek, contohnya Human Genome Project. Kini, tiba fase baru yang disebut networked science, ketika ilmuwan dari berbagai organisasi bekerja sama untuk memecahkan persoalan tertentu, tapi mereka melakukannya sebagai individu di lingkungan riset yang tersebar. Contohnya, Biomedical Informatics Research Network.
Networked science, seperti dikatakan oleh Michael Nielson (Reinventing Discovery: The New Era of Networked Science, 2011), berpotensi mempercepat penemuan. Tapi, dalam prakteknya dapat menghadapi kendala serius. Persaingan antar-ilmuwan, misalnya, dalam upaya memperoleh dana hibah untuk riset, akan membuat mereka berpikir ulang untuk berbagi kemajuan riset mereka secara terbuka. Padahal potensi untuk mempercepat penemuan sangat mungkin diwujudkan bilanetworked science ini bersifat terbuka (open science), sebagaimana sudah dicontohkan oleh perkembangan teknologi Android atau Linux atau Wikipedia. 
Wikipedia memang kerap disebut sebagai contoh hasil hebat dari kerja kolaboratif para relawan yang tersebar di berbagai belahan bumi. Mereka memberikan kontribusi dalam upaya menghimpun pengetahuan. Penyuntingan yang berulang-ulang merupakan upaya memperbaiki kualitas pengetahuan, memperbarui materi sesuai dengan perkembangan, dan memperkaya keanekaragaman perspektifnya. Semangat yang diusung sangat jelas: pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia.
Spirit serupa menjadi landasan apa yang disebut sebagai program open science. Melalui program ini diharapkan pertukaran pengetahuan dapat berlangsung di antara siapa pun yang memilikinya. Sifatnya yang terbuka memungkinkan publik di luar lingkaran ilmuwan, akademisi, periset, dan universitas dapat mengakses pengetahuan yang dikembangkan di lingkungan itu. Dalam konteks ini, peningkatan literasi sains di kalangan masyarakat awam dipandang sebagai strategis.
Sejumlah prakarsa memperlihatkan kesungguhan dalam mendorong pengetahuan agar dapat diakses publik luas. Salah satu yang patut dipuji ialah inisiatif MIT Open Course Ware, yang dikelola oleh Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Selama sepuluh tahun terakhir, sejak dimulai pada 2001, perguruan tinggi ini membukakan pintunya bagi siapa pun yang ingin memperoleh bahan-bahan kuliah. Pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di institut ternama ini dapat diakses oleh orang-orang di luar Amerika. 
Lebih dari 2.000 materi kuliah telah diunggah dan dikunjungi lebih dari 100 juta kali oleh sekitar 70 juta individu. Lebih dari 200 universitas di seluruh dunia telah bekerja sama dengan MIT dalam mempublikasikan materi kuliah secara gratis dan terbuka serta secara kolektif menerbitkan materi lebih dari 13 ribu kuliah. Kita yang berada di Indonesia bisa mengakses dengan leluasa dan kampus-kampus di Nigeria bisa mengunduh materi MIT Open Course Ware serta membahasnya di kelas-kelas mereka.
Public Library of Science juga sangat antusias dalam menyediakan scientific paper bagi siapa saja yang berkemauan mempelajari beragam bidang yang terkait dengan biologi dan kedokteran. Program yang dipelopori BioMed Central ini merupakan contoh bagaimana Internet dapat dipakai untuk kemaslahatan bersama, sebagai sesama manusia. 
Melalui networked science, persoalan sains secara potensial dapat dipecahkan lebih cepat berkat kontribusi banyak pikiran. Internet mendorong ilmuwan berkolaborasi dalam memikirkan mulai galaksi sampai dinosaurus. Memperbaiki cara mengembangkan sains dapat mempercepat penemuan cara-cara mengobati penyakit dan mengatasi persoalan perubahan iklim ataupun isu-isu mendesak lainnya. 
Persoalannya adalah bagaimana mengubah yang ada selama ini dan mendorong dikembangkannyascientific culture yang menganut open sharing of knowledge. Ilmuwan mungkin berpikir bahwa ia telah berkutat di laboratorium, bersusah payah melakukan eksperimen, menghimpun data, dan kemudian menganalisisnya; haruskah ia berbaik hati berbagi data serta pengetahuan yang diperolehnya kepada orang lain secara gratis?
Hambatan yang tak kalah besar datang dari regulasi, yang bila disahkan, akan membalikkan apa yang sudah berlangsung saat ini. Dalam minggu-minggu ini, di Amerika berlangsung protes atas sejumlah rancangan undang-undang, yakni Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA)--yang memperoleh protes luas, termasuk dari pengelola Wikipedia--dan Research Works Act. Ketiga regulasi ini akan melarang aktivitasinformation sharing. Research Works Act, khususnya, akan melarang lembaga riset seperti National Institute of Health (NIH) menyediakan publikasi gratis di situsnya. Selama ini, sejak 2009, di situs National Library of Medicine's, NIH membuka akses bagi pasien, dokter, mahasiswa, dan guru untuk membaca penemuan-penemuan medis.
Sebagaimana ditulis oleh Michael B. Eisen,associate professor biologi sel dan molekuler di University of California, Berkeley, bila rancangan undang-undang ini lolos, untuk membaca hasil riset yang didanai pemerintah federal, orang Amerika harus membeli "biaya akses" dengan membayar US$ 15-30 per paper. Artinya, kata Eisen--pendiri Public Library of Science--pembayar pajak yang telah membiayai riset dengan membayar pajak kini harus membayar lagi untuk membaca hasil risetnya. 
Tantangan kultural dan regulasi yang merupakan manifestasi kepentingan kelompok (ekonomi, politik dan kekuasaan, serta keilmuan) inilah yang akan menghadang langkah maju networked sciencedan open science. Persekutuan kekuatan-kekuatan ini, terutama di Amerika, merupakan satu ancaman yang bisa menjadi titik balik dari segenap upayaopen science yang berlangsung selama ini. Barangkali kita bisa membayangkan seperti yang terjadi pada Rabu lalu ketika Wikipedia menghitamkan halaman situsnya sebagai protes atas SOPA dan PIPA. 
Di situ tertulis: "Imagine a World without Free Knowledge. For over a decade, we have spent millions of hours building the largest encyclopedia in human history. Right now, the U.S. Congress is considering legislation that could fatally damage the free and open Internet." Hitam, gelap. [*]


(Sumber: Koran Tempo Minggu, 22 Januari 2012)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar