Dian Basuki
PEMINAT
MASALAH SAINS
Revolusi digital yang tengah berlangsung mengirim arus perubahan ke segenap sudut kehidupan manusia. Pelaku ekonomi, bisnis, dan keuangan telah memetik banyak manfaat dari perubahan-perubahan yang dibawa oleh teknologi Internet. Aktivitas pendidikan, politik, dan banyak bidang lain juga memanfaatkan keunggulan yang ditawarkan teknologi digital ini. Sains tidak termasuk dalam pengecualian, bila pengecualian itu memang ada.
Kerja kolaboratif menjadi
salah satu peluang yang ditawarkan Internet dalam kerangka menghimpun
pengetahuan. Beberapa perusahaan multinasional sudah memanfaatkan Internet
untuk membangun jejaring pengetahuan di lingkungan internal. Karyawan, manajer,
serta para ahli di lingkungan perusahaan dapat bertukar ilmu dan pengalaman.
Dalam memecahkan persoalan yang pelik, pekerja di Indonesia dapat meminta atau
menerima saran dari karyawan lain yang bertugas di Meksiko atau Kanada.
Fenomena itu tidak hanya
terlihat dalam lingkungan korporat. Beberapa studi menunjukkan teknologi
Internet memudahkan kerja kolaboratif di antara ilmuwan yang bekerja di lembaga
yang berbeda-beda. Tim Gowers, matematikawan di Cambridge University, Inggris,
pernah melakukan eksperimen pada awal 2009. Ia memilih sebuah persoalan
matematika yang pelik dan berusaha memecahkannya secara terbuka. Gowers memakai
blognya untuk menaruh ide-ide pemecahannya secara bertahap.
Yang menarik, Gowers
mengundang orang lain untuk menyumbangkan gagasan dengan pertimbangan
"pikiran bersama" lebih ampuh ketimbang pikiran satu orang. Beberapa
jam setelah Gowers mengundang partisipasi, seorang matematikawan Hungaria mem-posting komentar. Lima belas menit kemudian, Terence
Tao--matematikawan di University of California Los Angeles--mengirim komentar
pula. Diskusi pun berlangsung. Dalam waktu enam pekan, persoalan matematika itu
terpecahkan--sebuah hasil kecerdasan kolektif.
Kehadiran teknologi
Internet memang telah mendorong sains memasuki tahap baru, setidaknya bila
mengikuti ide Diana Rhoten (The Dawn of Networked Science, 2007).
Penelitian ilmiah, menurut Rhoten, telah melewati berbagai fase, yang dimulai
dengan bench-top science, ketika ilmuwan secara
individu melakukan riset sendiri. Lalu riset memasuki fase big science yang melibatkan banyak
ilmuwan dalam satu program, misalnya Manhattan Project dengan tujuan
menciptakan bom atom.
Fase berikutnya ialah team science, dengan peneliti yang
dipekerjakan oleh banyak organisasi untuk melakukan riset pada satu proyek,
contohnya Human Genome Project. Kini, tiba fase baru yang disebut networked science, ketika ilmuwan dari
berbagai organisasi bekerja sama untuk memecahkan persoalan tertentu, tapi
mereka melakukannya sebagai individu di lingkungan riset yang tersebar.
Contohnya, Biomedical Informatics Research Network.
Networked science, seperti dikatakan oleh
Michael Nielson (Reinventing Discovery: The New Era of Networked Science,
2011), berpotensi mempercepat penemuan. Tapi, dalam prakteknya dapat menghadapi
kendala serius. Persaingan antar-ilmuwan, misalnya, dalam upaya memperoleh dana
hibah untuk riset, akan membuat mereka berpikir ulang untuk berbagi kemajuan
riset mereka secara terbuka. Padahal potensi untuk mempercepat penemuan sangat
mungkin diwujudkan bilanetworked science ini bersifat terbuka (open
science), sebagaimana sudah dicontohkan oleh perkembangan teknologi Android
atau Linux atau Wikipedia.
Wikipedia memang kerap
disebut sebagai contoh hasil hebat dari kerja kolaboratif para relawan yang
tersebar di berbagai belahan bumi. Mereka memberikan kontribusi dalam upaya
menghimpun pengetahuan. Penyuntingan yang berulang-ulang merupakan upaya
memperbaiki kualitas pengetahuan, memperbarui materi sesuai dengan
perkembangan, dan memperkaya keanekaragaman perspektifnya. Semangat yang
diusung sangat jelas: pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia.
Spirit serupa menjadi
landasan apa yang disebut sebagai program open science. Melalui program ini
diharapkan pertukaran pengetahuan dapat berlangsung di antara siapa pun yang
memilikinya. Sifatnya yang terbuka memungkinkan publik di luar lingkaran
ilmuwan, akademisi, periset, dan universitas dapat mengakses pengetahuan yang
dikembangkan di lingkungan itu. Dalam konteks ini, peningkatan literasi sains
di kalangan masyarakat awam dipandang sebagai strategis.
Sejumlah prakarsa
memperlihatkan kesungguhan dalam mendorong pengetahuan agar dapat diakses
publik luas. Salah satu yang patut dipuji ialah inisiatif MIT Open Course Ware,
yang dikelola oleh Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat.
Selama sepuluh tahun terakhir, sejak dimulai pada 2001, perguruan tinggi ini
membukakan pintunya bagi siapa pun yang ingin memperoleh bahan-bahan kuliah.
Pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di institut ternama ini dapat
diakses oleh orang-orang di luar Amerika.
Lebih dari 2.000 materi
kuliah telah diunggah dan dikunjungi lebih dari 100 juta kali oleh sekitar 70
juta individu. Lebih dari 200 universitas di seluruh dunia telah bekerja sama
dengan MIT dalam mempublikasikan materi kuliah secara gratis dan terbuka serta
secara kolektif menerbitkan materi lebih dari 13 ribu kuliah. Kita yang berada
di Indonesia bisa mengakses dengan leluasa dan kampus-kampus di Nigeria bisa
mengunduh materi MIT Open Course Ware serta membahasnya di kelas-kelas mereka.
Public Library of Science
juga sangat antusias dalam menyediakan scientific paper bagi siapa saja yang berkemauan mempelajari beragam bidang
yang terkait dengan biologi dan kedokteran. Program yang dipelopori BioMed
Central ini merupakan contoh bagaimana Internet dapat dipakai untuk
kemaslahatan bersama, sebagai sesama manusia.
Melalui networked science, persoalan sains secara
potensial dapat dipecahkan lebih cepat berkat kontribusi banyak pikiran.
Internet mendorong ilmuwan berkolaborasi dalam memikirkan mulai galaksi sampai
dinosaurus. Memperbaiki cara mengembangkan sains dapat mempercepat penemuan
cara-cara mengobati penyakit dan mengatasi persoalan perubahan iklim ataupun
isu-isu mendesak lainnya.
Persoalannya adalah
bagaimana mengubah yang ada selama ini dan mendorong dikembangkannyascientific
culture yang menganut open sharing of knowledge. Ilmuwan mungkin berpikir
bahwa ia telah berkutat di laboratorium, bersusah payah melakukan eksperimen,
menghimpun data, dan kemudian menganalisisnya; haruskah ia berbaik hati berbagi
data serta pengetahuan yang diperolehnya kepada orang lain secara gratis?
Hambatan yang tak kalah
besar datang dari regulasi, yang bila disahkan, akan membalikkan apa yang sudah
berlangsung saat ini. Dalam minggu-minggu ini, di Amerika berlangsung protes
atas sejumlah rancangan undang-undang, yakni Stop Online Piracy Act (SOPA) dan
Protect IP Act (PIPA)--yang memperoleh protes luas, termasuk dari pengelola
Wikipedia--dan Research Works Act. Ketiga regulasi ini akan melarang aktivitasinformation
sharing. Research Works Act, khususnya, akan melarang lembaga riset seperti
National Institute of Health (NIH) menyediakan publikasi gratis di situsnya.
Selama ini, sejak 2009, di situs National Library of Medicine's, NIH membuka
akses bagi pasien, dokter, mahasiswa, dan guru untuk membaca penemuan-penemuan
medis.
Sebagaimana ditulis oleh
Michael B. Eisen,associate professor biologi sel dan molekuler
di University of California, Berkeley, bila rancangan undang-undang ini lolos,
untuk membaca hasil riset yang didanai pemerintah federal, orang Amerika harus
membeli "biaya akses" dengan membayar US$ 15-30 per paper. Artinya,
kata Eisen--pendiri Public Library of Science--pembayar pajak yang telah
membiayai riset dengan membayar pajak kini harus membayar lagi untuk membaca
hasil risetnya.
Tantangan kultural dan
regulasi yang merupakan manifestasi kepentingan kelompok (ekonomi, politik dan
kekuasaan, serta keilmuan) inilah yang akan menghadang langkah maju networked sciencedan open science. Persekutuan
kekuatan-kekuatan ini, terutama di Amerika, merupakan satu ancaman yang bisa
menjadi titik balik dari segenap upayaopen science yang berlangsung selama ini. Barangkali kita bisa membayangkan
seperti yang terjadi pada Rabu lalu ketika Wikipedia menghitamkan halaman
situsnya sebagai protes atas SOPA dan PIPA.
Di situ tertulis:
"Imagine a World without Free Knowledge. For over a decade, we have spent
millions of hours building the largest encyclopedia in human history. Right
now, the U.S. Congress is considering legislation that could fatally damage the
free and open Internet." Hitam, gelap. [*]
(Sumber: Koran Tempo Minggu, 22 Januari 2012)
(Sumber: Koran Tempo Minggu, 22 Januari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar