Husein Ja'far al-Hadar
PEMINAT STUDI AGAMA DAN
FILSAFAT
Sosok Steve Jobs yang
begitu tenar dan fenomenal setahun terakhir ini secara tak langsung berperan
besar dalam menyadarkan kita telah bergulirnya apa yang diprediksi Martin
Heidegger (1950) sebagai gelombang revolusi teknologi. Deretan kabar
mengejutkan dan kontroversial tentang salah seorang sosok paling penting di
dunia digital itu, sejak kabar tentang sakitnya, yang disusul keputusan
kontroversialnya untuk mengundurkan diri sebagai CEO Apple Inc, hingga tak lama
setelah itu kabar kematiannya, merupakan rentetan kabar mengejutkan yang
membuat kita "dipaksa" menyisakan perhatian untuk menyadari bahwa dunia
kita berdiri saat ini sedang bergerak menuju era baru yang disebut era digital,
dengan Steve Jobs sebagai salah satu tokoh pentingnya. Gelombang revolusi
teknologi itu kini terlihat dalam proses digitalisasi yang terjadi hampir di
seluruh sendi kehidupan kita. Bahkan, saat ini di Jakarta, untuk memesan ojek
sekalipun kita bisa melakukannya via perangkat digital. Dan pergerakannya
sangat cepat. Hanya dibutuhkan waktu sekitar tiga dekade. Berbeda jauh,
misalnya, dengan gelombang revolusi mesin uap ke pesawat terbang yang
membutuhkan waktu dua setengah abad.
Media informasi menjadi ranah pertama yang terambah oleh gelombang revolusi
teknologi itu. Media-media besar di negeri ini kian berlomba-lomba
membangun--atau bermetamorfosis menjadi--portal berita dan informasi berbasis
digital yang populer. Mereka berdiri di garis terdepan sebagai lokomotif dalam
mengawal gelombang revolusi teknologi ini. Dunia penerbitan buku pun seperti
itu. Mereka saat ini disibukkan oleh upaya mengonsep, mematangkan, dan
membangun strategi untuk mengkonversi buku-bukunya dalam format digital: e-book,
enhanced book, interactive book, dan lain-lain. Maka, yang terjadi saat ini
dan beberapa waktu mendatang, segala kebutuhan atau sesuatu yang kita ingin
atau kita ketahui bisa didapat hanya dengan menggerakkan jari-jari kita di atas
tablet atau telepon seluler.
Media informasi memang selalu menjadi gerbang yang mengantarkan sebuah
zaman dari suatu era menuju era lainnya. Sebab, media informasi merupakan salah
satu alat provokasi paling ampuh guna membentuk atau mengubah pola pikir
seseorang atau bahkan publik secara kolektif.
Digitalisasi dalam ranah media informasi dan industrinya secara tak
langsung menuntut ranah itu tak hanya mengkonversi medianya, yakni dari cetak
menuju digital. Namun digitalisasi juga menuntut konten yang dihadirkannya pun
bermetamorfosis sesuai dengan karakteristik dan paradigma era digital. Pertama,
informasi dan ulasan yang dihadirkan dituntut bersifat singkat, ringkas, dan
instan. Sebab, manusia era digital berkecenderungan mengetahui sedikit tentang
banyak hal. Kecenderungan itu paradoks dengan prinsip akademis-ilmiah yang
cenderung mendidik seseorang agar lebih mengetahui sedikit hal secara mendalam,
komprehensif, dan utuh supaya tak terjadi kesalahpahaman. Kedua, tema dan gaya
bahasa dalam ranah digital dituntut bersifat populer. Berbeda dengan tema dan
gaya bahasa akademis yang cenderung serius dan ilmiah, yang tak lagi laku dalam
ranah digital, karena dianggap menjenuhkan dan membosankan.
Terkait dengan hal itu, pada 1964 Marshall McLuhan melalui karya populernya
yang berjudulUnderstanding Media; The Extensions of Man memperingatkan
kita akan gelombang revolusi teknologi (baik teknologi berbasis listrik saat
itu maupun dalam bentuk teknologi berbasis digital saat ini) yang, menurut dia,
tidak hanya akan memajukan, tapi juga berefek samping berupa ancaman dan risiko
bagi pola pikir dan gaya hidup masyarakat kita.
Setiap kali sebuah gelombang revolusi teknologi terjadi, maka ia memang
akan menggiring manusia pada posisi yang benar-benar dilematis, termasuk
gelombang digitalisasi saat ini. Ia menawarkan kepada kita agar tetap update dan
terhubung dengan dunia luar dan maya, tapi juga mengancam berkurangnya--bahkan
hilangnya--konsentrasi dan watak in command kita. Dalam posisi
dilematis itu, kita ditawari dan dirayu untuk tetap eksis dengan dunia
luar-maya yang nyaris tak terbatas itu, tapi di sisi lain kita dibuat lemah dan
mudah digiring, ditekan, dan diperbudak dari awalnya menjadi subyek yang
mengendalikan laju dan gerak peradaban dunia menjadi obyek yang tak berdaya di
tengah arus digitalisasi. Gelombang itu juga seolah memecah kita menjadi dua
kubu yang paradoks: mereka yang menilainya sebagai bentuk kemajuan dan memuji
gelombang itu sebagai gelombang demokratisasi budaya, atau di sisi
berseberangan berdiri mereka yang menilainya sebagai bentuk ancaman bagi
runtuhnya nilai-nilai budaya.
Menurut penulis, tantangan yang dimunculkan era digital saat ini dan ke
depan akan relatif sama dengan tantangan yang datang bersama arus modernisme
pada abad ke-16: tentang mengkompromikan nilai-nilai (tradisional) dengan
tuntutan zaman (yang terus membaru). Dan seiring dengan perkembangannya,
tantangannya pun semakin kompleks dan menyeluruh. Tidak lagi hanya menyangkut
media dan industrinya, tapi menyusup mempengaruhi pola pikir, budaya, dan
bahkan aspek terdalam serta paling privat dari peradaban manusia, yakni agama.
Terkait dengan hal itu, maka mempertimbangkan gelombang digitalisasi dalam
konteks antara kemajuan dan ancaman menjadi tak relevan lagi. Hanya individu
yang menafikan keniscayaan pergerakan zaman yang akan memandangnya secara
dilematis seperti itu. Persis sebagaimana kalangan budayawan atau agamawan
tradisionalis yang mengalami dilema saat arus modernisme menyusup hingga ke
sendi-sendi kebudayaan dan agama.
Sampai di sini, menurut penulis, mencermati poin-poin kritik para filsuf
(baik Barat maupun Islam) yang banyak muncul pada abad ke-19 ternilai sangat
relevan untuk dijadikan rambu dalam merespons gelombang digitalisasi saat ini
dan ke depan. Sebagaimana modernisasi dulu, digitalisasi saat ini patut
diposisikan sebagai tantangan yang niscaya sebagai bagian dari fenomena
pergerakan zaman. Dengan demikian, sikap terbuka dan mengafirmasi tapi selektif
dan kritis merupakan pilihan tepat untuk merespons gelombang digitalisasi.
Hipotesis Murtadha Muthahhari (filsuf Islam asal Iran) atau Herbert Marcuse
(filsuf Barat asal Jerman) dalam One Dimension Man, yang menegaskan
soal kewaspadaan manusia modern agar tak tereduksi eksistensinya menjadi satu
dimensi saja serta kepatutan mereka untuk tetap memposisikan dirinya sebagai
manusia multidimensi, sejatinya patut menjadi pesan penting bagi manusia saat
ini dalam merespons gelombang digitalisasi. Maka nantinya digitalisasi dapat
kita terima secara menguntungkan dan membangun, yakni sebagai perangkat yang
melayani dan mempermudah kita tanpa harus kehilangan watak in command serta
keutuhan kita sebagai manusia multidimensional. Itulah tantangan kita di tengah
arus digitalisasi saat ini dan di era digital di masa depan. [*]
Sumber [Koran Tempo Minggu, 15 Januari 2012]
Sumber [Koran Tempo Minggu, 15 Januari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar