Mohammad
Afifuddin
MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI
FISIPOL UGM YOGYAKARTA
"Eh, si Oka Antara keren banget,
ya. Cowok banget pokoknya. Gue banget gitu lho...he-he-he.." Cuplikan
pembicaraan itu terdengar dari kerumunan beberapa perempuan yang merasa
terpuaskan setelah menonton film Sang Penari: film yang diadaptasi
dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Yang dimaksud Oka Antara adalah salah satu aktor yang memerankan tokoh Rasus:
figur sentral--selain Srinthil--dalam novel dan film itu.
Banyak
orang bilang, Oka luar biasa di film itu. Seperti diakuinya sendiri, butuh 2
tahun untuk benar-benar meresapi peran Rasus. Ia juga benar-benar diet ketat
demi mendapatkan tampilan fisik ala Rasus yang diprofilkan sebagai pemuda desa
yang kurus karena miskin dan bodoh. Bahkan, seusai berakting di film ini, Oka
mengaku menolak semua tawaran peran untuk film lainnya. "Sepanjang karir
akting, output peran ini yang saya rasa paling maksimal.
Karenanya, saya butuh waktu jeda untuk refleksi dan evaluasi diri," kata
Oka dalam sebuah wawancara di televisi.
Iseng saya
bertanya ke mereka, apakah para dara itu pernah membaca novelnya? Seperti saya
duga, mereka tidak pernah membacanya. Pantas saja mereka cukup puas dengan
performa Rasus dalam diri Oka. Sebab, bagi saya, meski mengaku sudah
habis-habisan, tetap saja Rasus yang dipersonifikasikan Oka tidak seperti yang
saya bayangkan saat Ahmad Tohari mendeskripsikan setiap lekuk gerak Rasus dalam
novelnya. Dengan demikian, berbeda dengan cewek-cewek tadi, bagi saya Oka tidak
cukup bagus untuk menjadi Rasus.
Memang
masih bisa diperdebatkan asumsi ini. Toh ini perihal selera. Tapi, bagi saya,
bukan itu pokok perdebatannya. Ada sebuah pola yang bisa dibaca setiap kali
suatu karya novel, komik, cerpen, atau apa pun itu, ketika karya tersebut
diadopsi oleh satu jenis industri seni yang lain (dalam hal ini film). Untuk
menyebut beberapa, sebelumnya ada Laskar Pelangi dan Sang
Pemimpi, Ayat-ayat Cinta, Di Bawah Naungan Ka’bah,
atau kalau di luar negeri ada kisah komik Tin-Tin yang masuk layar lebar.
Sedangkan untuk proyeksi ke depan, ada megaproyek filmisasi novel Bumi
Manusia. Dalam proses alih-tampilan karya-karya yang saya sebut tadi selalu
timbul debat yang tidak sederhana. Mesti ada pro-kontra yang sengit antara
pihak yang merasa puas dan yang tidak puas dengan alih-tampilan karya itu.
Ada satu
perspektif "klasik" dalam perdebatan sosiologi kritik yang berkutat
pada ranah seni dan budaya. Raymond Williams dan Walter Benjamin dari
Birmingham Centre, yang sebelumnya diawali Theodoro W. Adorno dari
"padepokan" Mahzab Frankfurt, pernah membuat satu analisis tentang
tercerabutnya aura karya seni, karena terlampau sering direproduksi dalam skala
yang masif atau bahkan dimasukkan dalam skema industrialisasi budaya.
Dalam
batasan yang agak longgar, teori itu kompatibel digunakan untuk membaca
fenomena film yang diadaptasi dari novel-novel populer dan legendaris itu.
Logikanya begini. Sebagai karya seni yang dipublikasikan, novel memang bukan
produk yang eksklusif karena novel juga dicetak massal. Meski begitu, tidak
semua orang langsung cocok dan menambatkan hatinya pada novel-novel tersebut.
Sebab, tidak mudah membaca dan memahami ratusan halaman dalam novel itu.
Apalagi kultur membaca (literasi) masyarakat kita terkenal masih rendah,
sehingga tidak semua orang bisa tertaut dengan sebuah karya sastra yang bernama
novel.
Namun saat
novel itu diangkat ke layar lebar yang otomatis juga memindah media literasi
menjadi media visual, tiba-tiba banyak orang merasa tertaut dengan film itu.
Padahal ada reduksi dan pemampatan jalan cerita: dari awalnya beratus-ratus
halaman menjadi sekian jam durasi penayangan. Belum lagi jika dalam proses
pemindahan teks novel ke dalam script skenario terjadi bias
interpretatif.
Di sinilah
yang saya maksud sesungguhnya telah terjadi pencerabutan aura seni dan kedalaman
makna seperti kata teoretisi tadi. Maka, tidak salah jika Ahmad Tohari hanya
berujar singkat ihwal film Sang Penari. "Ya, paling tidak ini
menjadi dokumentasi visual dari Ronggeng Dukuh Paruk. Meski saya
merasa penggambaran suasana desa dalam film itu terlalu hijau untuk Dukuh
Paruk," kata Tohari (Kompas, 13 November 2011). Tohari, yang dalam
novelnya menggambarkan Dukuh Paruk sebagai wilayah yang gersang dan tandus,
merasa pilihan lokasi syuting film itu kurang mewakili imajinasi Dukuh Paruk
yang diinginkannya.
Di sisi
lain, banyak penikmat karya itu yang "melompat", maksudnya tanpa
membaca versi literalnya, langsung saja mengunyah versi digital-visualnya.
Fenomena semacam itu tidak bisa semata-mata dibaca sebagai faktor selera
(pilihan antara membaca/menonton), tapi sudah menyangkut karakter dan ukuran
tingkat berbudaya/berperadaban sebuah bangsa. Indonesia merupakan bangsa yang
mengidap sindrom cultural shock, karena lompatan budaya yang tanpa
arah: belum berkembang penuh budaya baca-tulis, sudah datang teknologi
informasi baru yang lebih menggoda.
Sven
Birkerts dalam buku The Gutenberg Elegies, The Fate of Reading in an
Electronic Age(1994) menyodorkan tiga hal yang perlu dicermati dari efek
lompatan kelisanan primer (budaya tutur) ke kelisanan sekunder (audio-visual),
tanpa melewati terlebih dulu fase sejarah berkembangnya budaya baca-tulis.
Pertama,
erosi bahasa. Kompleksitas ekspresi tertulis dan lisan, yang terikat erat
dengan tradisi cetak, akan tergantikan oleh, dalam istilah Bikerts, a
more telegraphic sort of "plainspeak". Bahasa akan terasa lebih
sederhana. Sementara itu, ambiguitas, paradoks, ironi, maupun kesubtilan yang
biasa menyertai sebuah bahasa menjadi musnah. Kedua, mendangkalnya perspektif
kesejarahan. Berubahnya cara kita menyampaikan dan menyimpan informasi
berhubungan dengan ingatan sejarah kita. Contoh, dengan melihat buku di
perpustakaan, kita dapat membentuk gambaran berlalunya waktu seiring dengan
bertambahnya buku di perpustakaan itu. Tetapi kesegeraan yang direpresentasikan
oleh budaya audio-visual akan menggantikan itu.
Ketiga,
lunturnya diri yang privat. Proses membaca adalah proses yang privat, ruang
hening di mana pembaca memperoleh suaka dari hiruk-pikuk dunia sekelilingnya.
Kendali pembacaan-waktu, imaji, impresi, sepenuhnya di tangan pembaca.
Sebaliknya, dari tatanan elektronik ketika "pembaca" menyerahkan
kendali itu kepada media, ruang pribadi makin sempit.
Tiga efek
ala Bikerts inilah yang sepertinya sedang menjangkiti bangsa kita. Dalam hal
berbahasa, misalnya, Indonesia termasuk dalam catatan Summer Institute of
Linguistics (SIL) tahun 2009 sebagai negara dengan potensi besar kehilangan
bahasa ibu. Di Sumatera, dari 52 bahasa pada tahun 2000, kini hanya tinggal 49
bahasa. Di Papua, dari 271 bahasa, dua di antaranya sudah menjadi bahasa kedua.
Di Maluku, dari 132 bahasa, hanya 129 yang aktif dituturkan dan tiga bahasa
lainnya hilang bersama penggunanya.
Lantas,
dalam wilayah penghayatan sejarah, bangsa kita sampai disebut mengidap amnesia
sejarah. Pasalnya, kita senantiasa mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu dan
selalu berputar pada spiral yang sama. Sampai-sampai kita seperti keledai yang
bodoh dan enggan belajar dari pengalaman. Kemudian yang ketiga, rakyat
Indonesia sepertinya kehilangan ruang dalam lubuknya untuk berkontemplasi. Sisi
hening dalam batin setiap individu seolah terdesak oleh ingar-bingar
modernitas. Akibatnya, dalam kehidupan bermasyarakat, kita mengidap gejala
gagal sosial, karena sering kali bertingkah bengis, anti-sosial, atau bahkan
anarkistik. [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 4 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar