Minggu, 22 April 2012

Intelektual yang Tersisa


Dian Basuki
PEMINAT MASALAH SAINS

Setelah melewati periode tidur panjang, apa yang disebut sebagai "kebangunan (kembali) demokrasi" ternyata diwarnai oleh fenomena mencolok: hasrat luar biasa untuk menguasai sumber daya material. Bukan lagi kejanggalan, uang telah menjadi sumber daya kekuasaan yang mampu mengubah prinsip dan karakter. Para elite membutuhkan sumber daya material yang andal agar mampu menghadapi persaingan di antara mereka sendiri dan tantangan para oligark dalam memperebutkan kuasa politik. Mereka umumnya telah saling mengerti apa yang harus dilakukan untuk memperoleh sumber daya ini dalam waktu singkat.
Di tengah elu-elu atas pertumbuhan ekonomi, yang berbaur dengan korupsi yang terus menular bagai wabah dan keadilan sosio-ekonomi yang tak kunjung tegak, ke arah mana bangsa ini hendak menuju? Mungkinkah kita tengah kehilangan orientasi, berada dalam status disoriented society, lantaran kekaburan tentang apa yang harus menjadi pegangan di antara begitu banyaknya paradoks?

Betapa sukar menemukan gagasan besar tentang masa depan tatkala percakapan dipadati oleh keinginan yang tak putus-putus minta dipenuhi; segera. Demi sebuah jabatan publik, bersekutu dengan siapa lebih penting ketimbang bersekutu dalam gagasan yang sama, karena cita-cita yang sama. Mereka melipat gagasan di bawah bantal demi memenuhi hasrat kuasa yang sangat mendesak.
Alangkah sulit mendapati diskursus yang bersemangat seperti dulu ketika orang memperdebatkan jalan mana yang sebaiknya ditempuh, antara "Widjojonomics" dan "Habibienomics". Perdebatan itu begitu hangat dan berbobot. (Baru-baru ini dipublikasikan sebuah foto yang merekam adegan B.J. Habibie menghadiri acara "peringatan 40 hari wafatnya Widjojo Nitisastro" di FE-UI. Sangat mengesankan, perbedaan pandangan itu tidak mengubur keakraban hubungan pribadi.) 
Kita barangkali tengah mengalami apa yang disebut oleh Jeffrey Goldfarb dalam Civility and Subversion sebagai systemic deliberation deficit. Lalu-lalang percakapan tidak beranjak dari telaah yang dalam. Keriuhannya dipandu oleh refleks semata. Sebuah kecurigaan sanggup melontarkan debat berkepanjangan. Di titik itu yang disebut rakyat hanyalah penonton belaka dari lalu-lalang percakapan yang tidak deliberative. Persis seperti ketika suara mereka dipinjam di hari-hari pemilu. "Politik," kata mendiang Bertrand Russell, "pada umumnya dikendalikan oleh slogan-slogan hampa yang tidak mengandung kebenaran."
Sebagian dari kita bertanya-tanya: di manakah para inteligensia ketika masyarakatnya kehilangan orientasi? Di manakah kaum intelektual yang mengusung amanah sejarah untuk selalu mengusik kemapanan dengan ide-idenya yang disruptif? Di manakah mereka yang memperoleh tugas historis untuk menunjukkan arah gerak masyarakatnya?
Bagi sebagian intelektual, alangkah sukar untuk tetap bertahan menjadi seseorang yang terasing dari kuasa sekaligus memikirkan persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sebagai "orang-orang asing" yang bertindak otonom dari pusat-pusat kekuasaan, mereka dapat berperan khusus mendorong diskursus berbobot tentang isu-isu kemasyarakatan yang paling menekan. Tetapi politik kini tengah menjadi panglima, segala soal ditelisik dari sudut pandang politik. Gagasan, apa lagi yang dilontarkan "orang-orang asing", membentur dinding-dinding yang kebal, untuk kemudian memantul kembali dan hilang terbawa angin.
Mendiang Vaclav Havel, sastrawan yang menggerakkan revolusi beludru dan kemudian memimpin negeri Cek, pernah mengatakan, "Politik dan intelektual dapat dihubungkan, tapi tanggung jawab bagi ide-ide tetap di tangan intelektual." Ia sendiri lama berkukuh tidak berminat pada politik, sebagaimana juga ia tidak pernah memutuskan untuk menjadi pembangkang rezim komunis. "Kami sekadar terus melangkah dan melakukan hal-hal tertentu yang kami rasa harus kami lakukan, dan hal itu terlihat pantas untuk dilakukan, tidak lebih tidak kurang," kata Havel.
Entah membaca Havel atau tidak, para intelektual yang tertawan oleh kuasa membuktikan betapa tidak mudah memanggul dua tanggung jawab sekaligus. Barangkali mereka ikut memasuki arena politik/kuasa dengan mengusung gagasan seperti halnya para pendiri republik ini. Mereka, pada mulanya, adalah intelektual publik yang tekun memikirkan persoalan masyarakatnya dan menyampaikan pandangannya sekalipun di bawah tekanan kolonial. Setelah merdeka, sebagian dari mereka gagal mewujudkan gagasannya karena terlempar dari kekuasaan dan sebagian lainnya gagal karena tertawan oleh kekuasaan.
Pesona kuasa itu pula yang sukar ditampik oleh sebagian intelektual yang hidup di masa sekarang. Namun, alih-alih memperadabkan kontestasi politik dan mensubversi konsensus-konsensus yang hanya memuaskan sebagian kecil orang, mereka justru ikut menikmati permainan. Mereka lipat gagasan di bawah bantal.
Ketika keputusan-keputusan di dunia modern begitu kompleks dan memiliki watak saling terkoneksi, para pemimpin politik sesungguhnya dapat mengambil manfaat dari partisipasi para intelektual yang berada di sekitarnya. Para intelektual dapat berperan memperluas pemahaman pemimpin politik perihal konsekuensi jangka panjang dari sebuah keputusan dan tindakan yang diambil. 
Peran itu, hingga sejauh ini, terpinggirkan. Terlampau banyak hiruk-pikuk politik yang menguras sumber daya. Barangkali pula karena gagasan semakin menjadi sesuatu yang asing. Tugas intelektual untuk menjaga perspektif kritis terhadap seluruh usulan kebijakan menjadi kian berat. Sebagian dari mereka, karena itu, terlempar dari lingkaran kekuasaan. Sebagian lainnya semakin larut dalam permainan. Drama yang dimainkan oleh para pendiri negeri ini seakan berulang.
Intelektual yang tersisa, sebagian di antaranya, memang masih menyempatkan diri berbicara kepada masyarakat tentang persoalan-persoalan yang paling krusial. Sayangnya, kerap kali suara mereka ditelan oleh hiruk-pikuk percakapan non-deliberatif yang mendominasi media-media yang, sayangnya, dikuasai pula oleh sejumlah kecil elite politik. 
Sanggupkah mereka bertahan di luar lingkaran, mengambil jarak dari rekan-rekannya yang telah tertawan oleh kekuasaan, dan tetap tekun memandu masyarakatnya yang tengah mencari bentuk? Dilema inilah tantangan berat mereka, bukan penjara. [*]

Sumber: Koran Tempo Minggu, 22 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar