Dian Basuki
PEMINAT MASALAH SAINS
Setelah melewati periode tidur
panjang, apa yang disebut sebagai "kebangunan (kembali) demokrasi"
ternyata diwarnai oleh fenomena mencolok: hasrat luar biasa untuk menguasai
sumber daya material. Bukan lagi kejanggalan, uang telah menjadi sumber daya
kekuasaan yang mampu mengubah prinsip dan karakter. Para elite membutuhkan
sumber daya material yang andal agar mampu menghadapi persaingan di antara
mereka sendiri dan tantangan para oligark dalam memperebutkan kuasa politik.
Mereka umumnya telah saling mengerti apa yang harus dilakukan untuk memperoleh
sumber daya ini dalam waktu singkat.
Di tengah elu-elu atas pertumbuhan
ekonomi, yang berbaur dengan korupsi yang terus menular bagai wabah dan
keadilan sosio-ekonomi yang tak kunjung tegak, ke arah mana bangsa ini hendak
menuju? Mungkinkah kita tengah kehilangan orientasi, berada dalam status disoriented
society, lantaran kekaburan tentang apa yang harus menjadi pegangan di
antara begitu banyaknya paradoks?
Betapa sukar menemukan gagasan besar
tentang masa depan tatkala percakapan dipadati oleh keinginan yang tak
putus-putus minta dipenuhi; segera. Demi sebuah jabatan publik, bersekutu
dengan siapa lebih penting ketimbang bersekutu dalam gagasan yang sama, karena
cita-cita yang sama. Mereka melipat gagasan di bawah bantal demi memenuhi
hasrat kuasa yang sangat mendesak.
Alangkah sulit mendapati diskursus
yang bersemangat seperti dulu ketika orang memperdebatkan jalan mana yang
sebaiknya ditempuh, antara "Widjojonomics" dan
"Habibienomics". Perdebatan itu begitu hangat dan berbobot.
(Baru-baru ini dipublikasikan sebuah foto yang merekam adegan B.J. Habibie
menghadiri acara "peringatan 40 hari wafatnya Widjojo Nitisastro" di
FE-UI. Sangat mengesankan, perbedaan pandangan itu tidak mengubur keakraban
hubungan pribadi.)
Kita barangkali tengah mengalami apa
yang disebut oleh Jeffrey Goldfarb dalam Civility and Subversion sebagai systemic
deliberation deficit. Lalu-lalang percakapan tidak beranjak dari telaah
yang dalam. Keriuhannya dipandu oleh refleks semata. Sebuah kecurigaan sanggup
melontarkan debat berkepanjangan. Di titik itu yang disebut rakyat hanyalah
penonton belaka dari lalu-lalang percakapan yang tidak deliberative.
Persis seperti ketika suara mereka dipinjam di hari-hari pemilu.
"Politik," kata mendiang Bertrand Russell, "pada umumnya
dikendalikan oleh slogan-slogan hampa yang tidak mengandung kebenaran."
Sebagian dari kita bertanya-tanya: di
manakah para inteligensia ketika masyarakatnya kehilangan orientasi? Di manakah
kaum intelektual yang mengusung amanah sejarah untuk selalu mengusik kemapanan
dengan ide-idenya yang disruptif? Di manakah mereka yang memperoleh tugas
historis untuk menunjukkan arah gerak masyarakatnya?
Bagi sebagian intelektual, alangkah
sukar untuk tetap bertahan menjadi seseorang yang terasing dari kuasa sekaligus
memikirkan persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sebagai "orang-orang
asing" yang bertindak otonom dari pusat-pusat kekuasaan, mereka dapat
berperan khusus mendorong diskursus berbobot tentang isu-isu kemasyarakatan
yang paling menekan. Tetapi politik kini tengah menjadi panglima, segala soal
ditelisik dari sudut pandang politik. Gagasan, apa lagi yang dilontarkan
"orang-orang asing", membentur dinding-dinding yang kebal, untuk
kemudian memantul kembali dan hilang terbawa angin.
Mendiang Vaclav Havel, sastrawan yang
menggerakkan revolusi beludru dan kemudian memimpin negeri Cek, pernah
mengatakan, "Politik dan intelektual dapat dihubungkan, tapi tanggung
jawab bagi ide-ide tetap di tangan intelektual." Ia sendiri lama berkukuh
tidak berminat pada politik, sebagaimana juga ia tidak pernah memutuskan untuk
menjadi pembangkang rezim komunis. "Kami sekadar terus melangkah dan
melakukan hal-hal tertentu yang kami rasa harus kami lakukan, dan hal itu
terlihat pantas untuk dilakukan, tidak lebih tidak kurang," kata Havel.
Entah membaca Havel atau tidak, para
intelektual yang tertawan oleh kuasa membuktikan betapa tidak mudah memanggul
dua tanggung jawab sekaligus. Barangkali mereka ikut memasuki arena
politik/kuasa dengan mengusung gagasan seperti halnya para pendiri republik
ini. Mereka, pada mulanya, adalah intelektual publik yang tekun memikirkan
persoalan masyarakatnya dan menyampaikan pandangannya sekalipun di bawah
tekanan kolonial. Setelah merdeka, sebagian dari mereka gagal mewujudkan
gagasannya karena terlempar dari kekuasaan dan sebagian lainnya gagal karena
tertawan oleh kekuasaan.
Pesona kuasa itu pula yang sukar
ditampik oleh sebagian intelektual yang hidup di masa sekarang. Namun,
alih-alih memperadabkan kontestasi politik dan mensubversi konsensus-konsensus
yang hanya memuaskan sebagian kecil orang, mereka justru ikut menikmati
permainan. Mereka lipat gagasan di bawah bantal.
Ketika keputusan-keputusan di dunia
modern begitu kompleks dan memiliki watak saling terkoneksi, para pemimpin
politik sesungguhnya dapat mengambil manfaat dari partisipasi para intelektual
yang berada di sekitarnya. Para intelektual dapat berperan memperluas pemahaman
pemimpin politik perihal konsekuensi jangka panjang dari sebuah keputusan dan
tindakan yang diambil.
Peran itu, hingga sejauh ini,
terpinggirkan. Terlampau banyak hiruk-pikuk politik yang menguras sumber daya.
Barangkali pula karena gagasan semakin menjadi sesuatu yang asing. Tugas
intelektual untuk menjaga perspektif kritis terhadap seluruh usulan kebijakan
menjadi kian berat. Sebagian dari mereka, karena itu, terlempar dari lingkaran
kekuasaan. Sebagian lainnya semakin larut dalam permainan. Drama yang dimainkan
oleh para pendiri negeri ini seakan berulang.
Intelektual yang tersisa, sebagian di
antaranya, memang masih menyempatkan diri berbicara kepada masyarakat tentang
persoalan-persoalan yang paling krusial. Sayangnya, kerap kali suara mereka
ditelan oleh hiruk-pikuk percakapan non-deliberatif yang mendominasi media-media
yang, sayangnya, dikuasai pula oleh sejumlah kecil elite politik.
Sanggupkah mereka bertahan di luar
lingkaran, mengambil jarak dari rekan-rekannya yang telah tertawan oleh
kekuasaan, dan tetap tekun memandu masyarakatnya yang tengah mencari bentuk?
Dilema inilah tantangan berat mereka, bukan penjara. [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 22 April
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar