Afrizal
Malna
PENYAIR
Di Dublin, Irlandia, sebuah jembatan
didirikan. Nama jembatan itu diambil dari nama tokoh seorang penulis drama,
yang pesona narasinya menguasai panggung-panggung teater hingga kini, yaitu
Samuel Beckett. Jembatan ini melintasi Sungai Liffey, yang menghubungkan Sir
John Rogerson's Quay dan North Wall Quay. Jembatan dirancang oleh Santiago
Calatrava, dan diresmikan pada 10 Desember 2009.
Samuel
Beckett Bridge merupakan bagian dari gerakan kota yang menggunakan kesenian
sebagai imaji-imaji utamanya. Ia mengubah wajah militeristik kota, wajah yang
terlalu berbau pemerintahan, kekuasaan, atau terlalu berbau bisnis, dengan
imaji-imaji yang semakin menjauhkan diri dari nada agresi. Ia juga menjauhkan
kota dari ikon-ikon konflik dan eksploitatif. Beckett adalah nama yang tidak
berlebihan untuk jembatan seperti itu.
Beckett
telah membuat jembatan lain yang menghubungkan berbagai seniman teater ataupun
sastrawan, melintasi kebangsaan, negara, kebudayaan, dan ideologi. Ia
menghubungkan seni dengan filsafat sebagai jembatan antara absurdisme dan
eksistensialisme. Jembatan terbalik antara berpikir dengan kepintaran dan
berpikir dengan kebodohan, bekerja dengan kebisingan dan bekerja dengan
kebisuan. Manusia bukan lagi representasi dewa-dewa ataupun aku yang memiliki
dan menguasai: "Orang yang malang. Sekarang aku sudah bisa pulang, misteri
sudah hilang," dalam salah satu naskah dramanya: Sketsa Teater 1.
Pernyataan yang memang memunculkan misteri baru, tapi untuk menempatkan
kebenaran sebagai kemajemukan pembacaan.
Jembatan
itu menjadi bagian dari perubahan kota sebagai sarang terjadinya transaksi
ekonomi menjadi cerita. Cerita menjadi begitu penting untuk menghambat gerak
komoditas dan komersialisasi nilai-nilai. Ia membawa kembali kita sebagai
makhluk yang bercerita, becermin dan bernapas dalam cerita; membuat berbagai
jembatan untuk menghubungkan yang-di-sana dan yang-di-sini, yang-lampau dan
yang-kini, yang-aku dan yang-kamu.
Cerita akan
membawa kembali sastra (prosa dan puisi) ke dalam rumah, tidak membiarkannya
gentayangan di jalan untuk mencari pembacanya. Rumah sebagai wilayah domestik
tempat awal cerita tumbuh dan beredar di antara sesama anggota keluarga, tempat
karya sastra pertama kali mendapatkan pembacanya untuk diapresiasi. Bukan di
sekolah, di kampus, atau di tangan para kritikus. Bawalah kembali sastra ke
dalam rumah untuk bercerita.
Pada 11
Maret lalu, di Malang, seorang siswa kelas II sekolah menengah atas, Fajar
Kusumaningayu, dalam usianya yang ke-17 menerbitkan novel pertamanya: Farewell
for Death. Novel ini diterbitkan oleh orang tuanya sendiri sebagai hadiah
ulang tahun untuk Ayu. Tanpa malu-malu, pada bagian pertama novelnya ini, Ayu
sudah bercerita tentang cowok tercinta. Cerita yang akan kembali dibaca oleh
ayah dan ibunya sendiri.
Dengan
lancar dan dandanan yang diusahakan berpenampilan resmi, Ayu bercerita
panjang-lebar mengenai novelnya saat ia meluncurkan novelnya. Ia juga sedang
menyiapkan novel keduanya. Peluncuran novelnya sebagian besar dihadiri
teman-teman SMA-nya. Ayah ibunya hanya duduk di bagian belakang mengikuti acara
yang begitu penting sedang dialami putri mereka itu. Saya mengira tidak ada
guru Ayu yang datang. Apa artinya sebuah novel yang ditulis oleh murid mereka.
Guru-guru terhormat itu memang mungkin tidak tahu artinya.
Teman-temannya
mulai berbagi cerita tentang Ayu yang mereka kenal di sekolah dalam acara
peluncuran itu. Mengharukan melihat mereka berada dalam cerita-cerita mereka
sendiri, di antara sebuah novel yang ditulis rekannya sendiri. Dunia sastra,
yang sebelumnya terkesan elite, eksklusif, sulit dipahami, serta terasing dari
kehidupan rumah dan sekolah, tiba-tiba menjadi begitu dekat. Novel itu lahir
dari tangan mereka sendiri dan dibaca oleh mereka sendiri. Orang tua mereka
membantunya menerbitkan.
Mereka
tidak memulai memasuki dunia sastra melalui para sastrawan, yang mungkin hanya
akan membuat mereka terlemahkan; juga tidak melalui bagaimana sekolah melakukan
konstruksi terhadap sastra, yang membuat mereka mungkin tersubordinasi sebagai
pembaca awam. Mereka mengawalinya sebagai makhluk bercerita, yang siapa pun
memiliki kemungkinan melakukannya. Setiap orang bebas membuat, memiliki, dan menyebarluaskan
cerita yang mereka buat.
Setiap
orang merupakan rumah cerita yang merawat berbagai hubungan, kenangan, dan
pengalaman. Jembatan dari aku ke aku, dan di bawahnya mengalir sungai
peradaban. Tanpa jembatan, seorang aku tidak mempunyai kesempatan mengalami hal
di luar peradaban, dan belajar membacanya dari luar.
Membaca
cerita sama seperti kita dipertemukan dengan versi lain tentang aku di luar
aku. Jembatan yang dilalui untuk bertemu dengan akar keberagaman dan perbedaan,
dan bukan sebagai kuburan untuk mengubur seorang aku yang hidup hanya untuk dan
sebagai versi tunggal yang diyakininya.
Dalam versi
majemuk ini, pendidikan hanyalah sebuah jembatan, bukan lembaga konsentrasi
untuk memonsterkan manusia. Sebab, bukankah sejak pertama kali dilahirkan
manusia sudah merupakan monster penciptaan, yang hidup dengan satu mesin basah:
menangis? [*]
Sumber:
Koran Tempo Minggu, 01 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar