Minggu, 01 April 2012

Jembatan Pendidikan dari Cerita

Afrizal Malna
PENYAIR

Di Dublin, Irlandia, sebuah jembatan didirikan. Nama jembatan itu diambil dari nama tokoh seorang penulis drama, yang pesona narasinya menguasai panggung-panggung teater hingga kini, yaitu Samuel Beckett. Jembatan ini melintasi Sungai Liffey, yang menghubungkan Sir John Rogerson's Quay dan North Wall Quay. Jembatan dirancang oleh Santiago Calatrava, dan diresmikan pada 10 Desember 2009.
Samuel Beckett Bridge merupakan bagian dari gerakan kota yang menggunakan kesenian sebagai imaji-imaji utamanya. Ia mengubah wajah militeristik kota, wajah yang terlalu berbau pemerintahan, kekuasaan, atau terlalu berbau bisnis, dengan imaji-imaji yang semakin menjauhkan diri dari nada agresi. Ia juga menjauhkan kota dari ikon-ikon konflik dan eksploitatif. Beckett adalah nama yang tidak berlebihan untuk jembatan seperti itu.

Beckett telah membuat jembatan lain yang menghubungkan berbagai seniman teater ataupun sastrawan, melintasi kebangsaan, negara, kebudayaan, dan ideologi. Ia menghubungkan seni dengan filsafat sebagai jembatan antara absurdisme dan eksistensialisme. Jembatan terbalik antara berpikir dengan kepintaran dan berpikir dengan kebodohan, bekerja dengan kebisingan dan bekerja dengan kebisuan. Manusia bukan lagi representasi dewa-dewa ataupun aku yang memiliki dan menguasai: "Orang yang malang. Sekarang aku sudah bisa pulang, misteri sudah hilang," dalam salah satu naskah dramanya: Sketsa Teater 1. Pernyataan yang memang memunculkan misteri baru, tapi untuk menempatkan kebenaran sebagai kemajemukan pembacaan.
Jembatan itu menjadi bagian dari perubahan kota sebagai sarang terjadinya transaksi ekonomi menjadi cerita. Cerita menjadi begitu penting untuk menghambat gerak komoditas dan komersialisasi nilai-nilai. Ia membawa kembali kita sebagai makhluk yang bercerita, becermin dan bernapas dalam cerita; membuat berbagai jembatan untuk menghubungkan yang-di-sana dan yang-di-sini, yang-lampau dan yang-kini, yang-aku dan yang-kamu.
Cerita akan membawa kembali sastra (prosa dan puisi) ke dalam rumah, tidak membiarkannya gentayangan di jalan untuk mencari pembacanya. Rumah sebagai wilayah domestik tempat awal cerita tumbuh dan beredar di antara sesama anggota keluarga, tempat karya sastra pertama kali mendapatkan pembacanya untuk diapresiasi. Bukan di sekolah, di kampus, atau di tangan para kritikus. Bawalah kembali sastra ke dalam rumah untuk bercerita.
Pada 11 Maret lalu, di Malang, seorang siswa kelas II sekolah menengah atas, Fajar Kusumaningayu, dalam usianya yang ke-17 menerbitkan novel pertamanya: Farewell for Death. Novel ini diterbitkan oleh orang tuanya sendiri sebagai hadiah ulang tahun untuk Ayu. Tanpa malu-malu, pada bagian pertama novelnya ini, Ayu sudah bercerita tentang cowok tercinta. Cerita yang akan kembali dibaca oleh ayah dan ibunya sendiri.
Dengan lancar dan dandanan yang diusahakan berpenampilan resmi, Ayu bercerita panjang-lebar mengenai novelnya saat ia meluncurkan novelnya. Ia juga sedang menyiapkan novel keduanya. Peluncuran novelnya sebagian besar dihadiri teman-teman SMA-nya. Ayah ibunya hanya duduk di bagian belakang mengikuti acara yang begitu penting sedang dialami putri mereka itu. Saya mengira tidak ada guru Ayu yang datang. Apa artinya sebuah novel yang ditulis oleh murid mereka. Guru-guru terhormat itu memang mungkin tidak tahu artinya. 
Teman-temannya mulai berbagi cerita tentang Ayu yang mereka kenal di sekolah dalam acara peluncuran itu. Mengharukan melihat mereka berada dalam cerita-cerita mereka sendiri, di antara sebuah novel yang ditulis rekannya sendiri. Dunia sastra, yang sebelumnya terkesan elite, eksklusif, sulit dipahami, serta terasing dari kehidupan rumah dan sekolah, tiba-tiba menjadi begitu dekat. Novel itu lahir dari tangan mereka sendiri dan dibaca oleh mereka sendiri. Orang tua mereka membantunya menerbitkan.
Mereka tidak memulai memasuki dunia sastra melalui para sastrawan, yang mungkin hanya akan membuat mereka terlemahkan; juga tidak melalui bagaimana sekolah melakukan konstruksi terhadap sastra, yang membuat mereka mungkin tersubordinasi sebagai pembaca awam. Mereka mengawalinya sebagai makhluk bercerita, yang siapa pun memiliki kemungkinan melakukannya. Setiap orang bebas membuat, memiliki, dan menyebarluaskan cerita yang mereka buat.
Setiap orang merupakan rumah cerita yang merawat berbagai hubungan, kenangan, dan pengalaman. Jembatan dari aku ke aku, dan di bawahnya mengalir sungai peradaban. Tanpa jembatan, seorang aku tidak mempunyai kesempatan mengalami hal di luar peradaban, dan belajar membacanya dari luar. 
Membaca cerita sama seperti kita dipertemukan dengan versi lain tentang aku di luar aku. Jembatan yang dilalui untuk bertemu dengan akar keberagaman dan perbedaan, dan bukan sebagai kuburan untuk mengubur seorang aku yang hidup hanya untuk dan sebagai versi tunggal yang diyakininya. 
Dalam versi majemuk ini, pendidikan hanyalah sebuah jembatan, bukan lembaga konsentrasi untuk memonsterkan manusia. Sebab, bukankah sejak pertama kali dilahirkan manusia sudah merupakan monster penciptaan, yang hidup dengan satu mesin basah: menangis? [*]

Sumber: Koran Tempo Minggu, 01 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar