Minggu, 15 April 2012

Taman Bacaan Masyarakat 2.0

Agus M. Irkham

KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT


"Agama" baru telah lahir. Facebook namanya. Di Indonesia, ia dipeluk tak kurang dari 43,06 juta jiwa. Melebihi jumlah penduduk Kanada, yang hanya 33,2 juta jiwa (2011). Artinya, jumlah anggota jemaah "Facebookiyah" kita terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Dengan jumlah penduduk Indonesia 243 juta, praktis satu dari enam warga Indonesia memiliki satu akun di Facebook. 
Bagaimana dengan Twitter? Bak pinang tak berbelah. Di Indonesia, tak kurang dari 19,5 juta orang aktif menggunakannya. Dengan jumlah pengguna yang mendekati angka 20 juta jiwa itu, Indonesia tampil menjadi negara dengan jumlah pengguna Twitter terbesar kelima di dunia. Persis di bawah Inggris dengan 23,8 juta akun. 

Dan naga-naganya pemeluk agama baru itu akan terus bertambah, seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna telepon seluler yang terhubung ke layanan Internet. Apalagi bentuk media sosial (social media) semakin beragam. Mulai Flickr untuk foto-foto, YouTube untuk video, forum (mailing list group), blog, wikis, del.icios.us untuk link bookmark, dan Slideshare untuk presentasi (Nara, 2011).
Selain karena ketersediaan infrastruktur, apa pasal deretan beragam bentuk media sosial tersebut cepat mendapatkan afirmasi publik dengan jumlah yang sangat besar layaknya agama? Tak salah lagi lantaran karakter yang melekat pada media sosial itu sendiri. Yaitu adanya unsur partisipatif, keterbukaan, saling keterhubungan, kelancaran dialog, dan memberi peluang yang besar terbentuknya komunitas. "Kaum optimis adalah mereka yang melihat lampu hijau di semua tempat," kata Albert Schweitzer (1875-1965). "Sebaliknya, kaum pesimis hanya melihat lampu merah," filsuf, musisi, dan teolog asal Jerman ini menambahkan. 
Dalam konteks kekinian dan ke-Indonesia-an, fenomena Arief Muhammad dengan bukuPoconggg Juga Pocong (PJP) dan Reza Nurhilman dengan Keripik Pedas Maicih dapat saya jadikan contoh nyata betapa media sosial dapat menciptakan peluang dan harapan. Buku PJP adalah sulih bentuk, yang semula berupa tweets Arief di media sosial Twitter menjadi buku. Sampai Minggu, 8 April 2012 pukul 23.55 WIB, akun Twitter Arief (@poconggg) diikuti (followers) 1.946.035 orang. Maka, tak mengherankan bila buku PJP dicetak berulang-ulang (best seller) linear dengan jumlah followers-nya di Twitter. Bahkan, saat dialihkan ke gambar hidup (film), tetap saja ia menuai banyak penonton. 
Reza Nurhilman karib disapa AX" setali tiga uang dengan Arief. Wirausaha muda dari Bandung ini menggunakan Twitter sebagai sarana menjual dan mengembangkan jaringan pemasaran Keripik Pedas Maicih (KPM). Dengan tempat jualan yang selalu berpindah-pindah, waktu yang tertentu, dan informasi lokasi jualan hanya diberikan melalui Twitter, (calon) pembeli KPM harus selalu memantau tweets terbaru @maicih. Sampai Senin, 9 April 2012 dinihari, akun @maicih memilikifollowers 400.784 orang. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan Twitter, omzet penjualan KPM dalam sebulan tak kurang dari Rp 4 miliar!
Reza dan Arief bertemu dalam satu titik: menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mengefektifkan jualan produknya. Jualan Reza berupa makanan, sedangkan Arief berwujud (buku) bacaan. Terlepas dari perdebatan soal kualitas tulisan dan isi buku PJP, Arief telah membuat banyak anak muda keranjingan membaca. 
Tentu ini sebuah kabar baik buat masa depan gerakan budaya baca di Indonesia. Dan saya kira fenomena Reza "Maicih" Nurhilman, terutama Arief "Poconggg" Muhammad, ini bisa kita gunakan untuk mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai salah satu stakeholderskampanye minat dan budaya baca di Tanah Air. 
Untuk memudahkan penyebutan pola pengelolaan dan pengembangan TBM yang akan, sedang, dan sudah memanfaatkan Internet, saya menggunakan istilah TBM 2.0 (Taman Bacaan Masyarakat Generasi Kedua). Saya memetakan ada tiga perubahan mendasar yang harus dilakukan para pengelola TBM berkenaan dengan pemanfaatan Internet, khususnya media sosial. 
Pertama, paradigma sedikit bicara, banyak bekerja (talk less, do more) seyogianya segera diakhiri. Situasi zaman, di mana dunia tidak lagi selebar daun kelor melainkan sudah selebar jari jempol, telah memantaskan tiap diri dan komunitas untuk banyak bicara sekaligus banyak bekerja (talk more, do more). Pewartaan satu kegiatan akan melahirkan inspirasi, potensi kebaikan, dan kegiatan yang lebih luas lagi. Dengan begitu, kesempatan untuk saling mengisi, melengkapi, dan belajar menjadi demikian lebar. 
Maka, sebagaimana yang pernah saya lekatkan pula pada karakteristik library 2.0 (perpustakaan generasi kedua), TBM 2.0 juga mensyaratkan adanya pengelola yang melek teknologi informasi (Internet), bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, aktif di situs jejaring sosial (Facebook, Twitter), mahir menulis, sekaligus "narsis". Dalam TBM 2.0 upaya "menjual" citra diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan TBM. Karena itu, tiap TBM dan pengelolanya sudah sewajarnya memiliki blog/website pribadi.
Kedua, TBM harus mampu mengeksplorasi karakteristik masyarakat dan memperkayanya melalui program-program pendokumentasian arsip virtual (elektronik), sehingga mudah diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak hanya terbatas pada masyarakat di sekitar lokasi TBM, tapi juga masyarakat luar, bahkan dunia jika sudah diunggah ke Internet (website) media sosial TBM).
Wujudnya bisa berupa direktori pelaku budaya, ekonomi, hukum, dan politik setempat. Menyusun daftar potensi sumber daya lokal termasuk di dalamnya adalah potensi ekonomi kreatif melalui penulisan sejarah sosial masyarakat atau kampung (Zain, 2012). 
Ketiga, TBM dapat mengembangkan praktek berdemokrasi, dan tata kelola pemerintahan desa karena mayoritas TBM berada di desa/kelurahan--agar semakin baik dan berkeadilan melalui pembuatan situs/media sosial jurnalisme warga (citizen journalism). Melalui jurnalisme warga, TBM dapat merangsang partisipasi masyarakat untuk aktif melakukan reservasi budaya lokal.
Nah, jika ketiganya dilakukan, positioning TBM akan bergeser. Semula berbasis pada kepemilikan, menjadi beralih ke keterbukaan akses. Dari pelayanan teknis (klasifikasi; katalog) ke orientasi pelayanan publik. Dari koleksi yang melulu kertas ke paperless (audio-video-teks dalam bentuk file). Dari sifatnya yang semula aksesori ke solusi atas problem-problem nyata yang dihadapi masyarakat. Dari yang semula bersifat eksklusif (lokal) menjadi inklusif (mondial). [*]

Sumber: Koran Tempo Minggu, 15 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar