Agus M. Irkham
KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT
"Agama" baru telah lahir.
Facebook namanya. Di Indonesia, ia dipeluk tak kurang dari 43,06 juta jiwa.
Melebihi jumlah penduduk Kanada, yang hanya 33,2 juta jiwa (2011). Artinya,
jumlah anggota jemaah "Facebookiyah" kita terbesar ketiga setelah
Amerika Serikat dan India. Dengan jumlah penduduk Indonesia 243 juta, praktis
satu dari enam warga Indonesia memiliki satu akun di Facebook.
Bagaimana dengan Twitter? Bak pinang
tak berbelah. Di Indonesia, tak kurang dari 19,5 juta orang aktif
menggunakannya. Dengan jumlah pengguna yang mendekati angka 20 juta jiwa itu,
Indonesia tampil menjadi negara dengan jumlah pengguna Twitter terbesar kelima
di dunia. Persis di bawah Inggris dengan 23,8 juta akun.
Dan naga-naganya pemeluk agama baru
itu akan terus bertambah, seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna telepon
seluler yang terhubung ke layanan Internet. Apalagi bentuk media sosial (social
media) semakin beragam. Mulai Flickr untuk foto-foto, YouTube untuk video,
forum (mailing list group), blog, wikis, del.icios.us untuk link
bookmark, dan Slideshare untuk presentasi (Nara, 2011).
Selain karena ketersediaan
infrastruktur, apa pasal deretan beragam bentuk media sosial tersebut cepat
mendapatkan afirmasi publik dengan jumlah yang sangat besar layaknya agama? Tak
salah lagi lantaran karakter yang melekat pada media sosial itu sendiri. Yaitu
adanya unsur partisipatif, keterbukaan, saling keterhubungan, kelancaran
dialog, dan memberi peluang yang besar terbentuknya komunitas. "Kaum
optimis adalah mereka yang melihat lampu hijau di semua tempat," kata
Albert Schweitzer (1875-1965). "Sebaliknya, kaum pesimis hanya melihat
lampu merah," filsuf, musisi, dan teolog asal Jerman ini menambahkan.
Dalam konteks kekinian dan
ke-Indonesia-an, fenomena Arief Muhammad dengan bukuPoconggg Juga Pocong (PJP)
dan Reza Nurhilman dengan Keripik Pedas Maicih dapat saya
jadikan contoh nyata betapa media sosial dapat menciptakan peluang dan harapan.
Buku PJP adalah sulih bentuk, yang semula berupa tweets Arief
di media sosial Twitter menjadi buku. Sampai Minggu, 8 April 2012 pukul 23.55
WIB, akun Twitter Arief (@poconggg) diikuti (followers) 1.946.035
orang. Maka, tak mengherankan bila buku PJP dicetak berulang-ulang (best
seller) linear dengan jumlah followers-nya di Twitter. Bahkan, saat
dialihkan ke gambar hidup (film), tetap saja ia menuai banyak penonton.
Reza Nurhilman karib disapa AX"
setali tiga uang dengan Arief. Wirausaha muda dari Bandung ini menggunakan
Twitter sebagai sarana menjual dan mengembangkan jaringan pemasaran Keripik
Pedas Maicih (KPM). Dengan tempat jualan yang selalu berpindah-pindah, waktu
yang tertentu, dan informasi lokasi jualan hanya diberikan melalui Twitter,
(calon) pembeli KPM harus selalu memantau tweets terbaru
@maicih. Sampai Senin, 9 April 2012 dinihari, akun @maicih memilikifollowers 400.784
orang. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan Twitter, omzet penjualan KPM dalam
sebulan tak kurang dari Rp 4 miliar!
Reza dan Arief bertemu dalam satu
titik: menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mengefektifkan jualan
produknya. Jualan Reza berupa makanan, sedangkan Arief berwujud (buku) bacaan.
Terlepas dari perdebatan soal kualitas tulisan dan isi buku PJP, Arief telah
membuat banyak anak muda keranjingan membaca.
Tentu ini sebuah kabar baik buat masa
depan gerakan budaya baca di Indonesia. Dan saya kira fenomena Reza
"Maicih" Nurhilman, terutama Arief "Poconggg" Muhammad, ini
bisa kita gunakan untuk mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai
salah satu stakeholderskampanye minat dan budaya baca di Tanah Air.
Untuk memudahkan penyebutan pola
pengelolaan dan pengembangan TBM yang akan, sedang, dan sudah memanfaatkan
Internet, saya menggunakan istilah TBM 2.0 (Taman Bacaan Masyarakat Generasi
Kedua). Saya memetakan ada tiga perubahan mendasar yang harus dilakukan para
pengelola TBM berkenaan dengan pemanfaatan Internet, khususnya media sosial.
Pertama, paradigma sedikit bicara,
banyak bekerja (talk less, do more) seyogianya segera diakhiri. Situasi
zaman, di mana dunia tidak lagi selebar daun kelor melainkan sudah selebar jari
jempol, telah memantaskan tiap diri dan komunitas untuk banyak bicara sekaligus
banyak bekerja (talk more, do more). Pewartaan satu kegiatan akan
melahirkan inspirasi, potensi kebaikan, dan kegiatan yang lebih luas lagi.
Dengan begitu, kesempatan untuk saling mengisi, melengkapi, dan belajar menjadi
demikian lebar.
Maka, sebagaimana yang pernah saya
lekatkan pula pada karakteristik library 2.0 (perpustakaan
generasi kedua), TBM 2.0 juga mensyaratkan adanya pengelola yang melek
teknologi informasi (Internet), bersahabat (friendly), mau berbagi,
gaul, aktif di situs jejaring sosial (Facebook, Twitter), mahir menulis,
sekaligus "narsis". Dalam TBM 2.0 upaya "menjual" citra
diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan TBM. Karena itu,
tiap TBM dan pengelolanya sudah sewajarnya memiliki blog/website pribadi.
Kedua, TBM harus mampu mengeksplorasi
karakteristik masyarakat dan memperkayanya melalui program-program pendokumentasian
arsip virtual (elektronik), sehingga mudah diakses dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Tidak hanya terbatas pada masyarakat di sekitar lokasi TBM, tapi
juga masyarakat luar, bahkan dunia jika sudah diunggah ke Internet (website)
media sosial TBM).
Wujudnya bisa berupa direktori pelaku
budaya, ekonomi, hukum, dan politik setempat. Menyusun daftar potensi sumber
daya lokal termasuk di dalamnya adalah potensi ekonomi kreatif melalui
penulisan sejarah sosial masyarakat atau kampung (Zain, 2012).
Ketiga, TBM dapat mengembangkan
praktek berdemokrasi, dan tata kelola pemerintahan desa karena mayoritas TBM
berada di desa/kelurahan--agar semakin baik dan berkeadilan melalui pembuatan
situs/media sosial jurnalisme warga (citizen journalism). Melalui jurnalisme
warga, TBM dapat merangsang partisipasi masyarakat untuk aktif melakukan
reservasi budaya lokal.
Nah, jika ketiganya dilakukan, positioning TBM
akan bergeser. Semula berbasis pada kepemilikan, menjadi beralih ke keterbukaan
akses. Dari pelayanan teknis (klasifikasi; katalog) ke orientasi pelayanan
publik. Dari koleksi yang melulu kertas ke paperless (audio-video-teks
dalam bentuk file). Dari sifatnya yang semula aksesori ke solusi
atas problem-problem nyata yang dihadapi masyarakat. Dari yang semula bersifat
eksklusif (lokal) menjadi inklusif (mondial). [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 15
April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar