Bandung Mawardi
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Nasib rezim kerap bergantung pada
politik harga bahan bakar minyak (BBM). Narasi politik Orde Lama memuat soal
harga sebagai pertaruhan utopia dan petaka. Mohamad Hatta dalam sepucuk surat
(19 Januari 1962) untuk Sukarno menulis kalimat-kalimat sindiran: "Tiap
pejabat negeri mendengung-dengungkan bahwa kita sedang menuju ke sosialisme.... Tujuan sosialisme ialah memurahkan
ongkos rakyat. Berbagai tindakan pemerintah sebaliknya, memahalkan."
Kontradiksi rezim Orde Lama diungkapkan Hatta sebagai ikhtiar mengingatkan
Sukarno agar melakukan koreksi atas politik harga.
Peringatan itu terus dilanjutkan oleh
Hatta di ujung kekuasaan Sukarno. Hatta (1 Desember 1965) menerangkan:
"Harga bensin Rp 4 seliter terlalu murah. Sejak dari 1961, saya sarankan
kepada beberapa pejabat yang bersangkutan, supaya dinaikkan berangsur-angsur...." Saran itu diabaikan oleh
pemerintah. Politik Orde Lama pun terus limbung oleh kegagalan mengurusi
politik harga. Pemerintah justru semakin mengeruhkan politik atas nama
"amanat penderitaan rakyat" dengan harga bensin 6,5 kali lipat.
Politik harga bensin ini memicu kenaikan harga pelbagai kebutuhan pokok dan
transportasi. Hatta mengajukan kritik keras dengan surat. Mahasiswa pun turut
mengajukan kritik untuk menanggungkan petaka politik harga. Demonstrasi adalah
jawaban ampuh atas ulah rezim.
Demonstrasi adalah dramaturgi politik.
Demonstrasi digelar oleh mahasiswa di pelbagai kota. Epilog Orde Lama adalah
ritus demonstrasi (hampir) setiap hari. Indonesia menjelma negeri demonstrasi.
So Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (1983) menulis
pelbagai narasi demonstrasi. Gie menjelaskan bahwa kenaikan harga bensin dari
Rp 4 menjadi Rp 250 telah menguak kebobrokan rezim dan petaka politik. Gie (25
Januari 1966) mencatat adegan dramatis aksi mahasiswa di Salemba: "Semua
mobil distop sehingga lalu lintas macet. Mereka menulisi mobil dengan slogan:
dekat jauh dua ratus; turunkan harga bensin; DPR banci; ritul menteri-menteri
goblok." Demonstrasi menjelma kritik eksplisit demi perubahan nasib di
bawah naungan politik otoriter.
Gie bergerak bersama ribuan mahasiswa
meladeni ulah rezim dengan demonstrasi dan tulisan. Gie rajin menulis dan
memberi orasi untuk menggairahkan kritik untuk rezim. Demonstrasi memang
melelahkan dan mengandung risiko. Elite mencurigai demonstrasi
"ditunggangi neokolim", "liar", "subversif".
Demonstrasi pun memerlukan dramaturgi agar tak mendapati stigmatisasi picisan
di mata rezim. Gie "mengolah" demonstrasi dengan pamrih mengundang perhatian
rakyat melalui adegan berjalan, bersepeda, orasi. Adab demonstrasi ini lekas
menjelmakan kehendak rakyat. Gairah dan lelah dalam menggerakkan demonstrasi
tampak dalam komentar ibu saat melihat Gie pulang ke rumah: "Kau kelihatan
tua sekarang: kotor, bau, dan degil."
Hatta bergerak dengan kalimat-kalimat
di surat. Gie bergerak dengan tubuh-keringat dan tulisan. Dua tokoh ini memilih
jalan berbeda untuk turut menanggung derita rakyat. Politik harga bensin dan
situasi politik pelik membuat Hatta dan Gie menghadirkan kritik demi nasib
Indonesia. Kritik saat itu kerap diartikan "musuh" dari lakon
revolusi.
Hatta memang menulis surat sebagai
prosedur menentang rezim Orde Lama. Pertentangan pendapat ini seolah
"keharusan" tanpa merusak relasi diri dengan Sukarno sebagai
penggerak bangsa. Politik menghendaki kritik dan "persahabatan"
memerlukan ingatan-peringatan. Hatta mengajarkan adab kritik dalam nalar
demokrasi. Gie juga mengikhtiari diri untuk menjadikan demonstrasi sebagai aksi
merawat demokrasi dan mengubah nasib rakyat Indonesia. Gie menulis: "... kenang-kenangan demonstrasi akan
tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia;
batu tapal dalam revolusi Indonesia; batu tapal dalam sejarah Indonesia karena
yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran."
Memori demonstrasi ala Gie juga
dilengkapi dengan memori dalam bentuk puisi. Taufiq Ismail dengan puisi Dari
Ibu Seorang Demonstran (1966) mengantarkan ingatan akan makna
demonstrasi di episode akhir Orde Lama: "Ibu telah merelakan kalian/ Untuk
demonstrasi/ Karena kalian pergi menyempurnakan/ Kemerdekaan ini."
Penggalan puisi ini mengartikan ada tirani di masa Orde Lama. Demonstrasi pun
dianggap jawaban mumpuni.
Lakon demonstrasi terus berlanjut di
masa Orde Baru. Politik harga BBM pun jadi sebab. Rezim mengumandangkan misi
kesejahteraan dan kemakmuran. Misi ini mengandung ilusi dan manipulasi. Gugatan
dan kritik muncul saat Orde Baru membuat eufemisme politik. Kenaikan harga BBM
dibahasakan secara halus dan represif. Nalar tertib dan kontrol mengkondisikan
rakyat melancarkan kritik dalam "bisik". Demonstrasi seolah
"haram". Rezim pun melabeli demonstrasi dengan sangkaan anarkistik,
subversif, inkonstitusional.
Wiji Thukul tampil dengan puisi
melawan kebisuan. Orde Baru dengan politik harga BBM telah memberi nestapa.
Wiji Thukul (1984) menulis puisi dalam teriak dan gugatan: jika bbm
kembali menginjak/ namun juga masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan/ maka
aku tidak akan lagi memohon pembangunan nasib. Pujangga asal Solo ini dalam
puisi Peringatan (1986) menulis:kalau rakyat tidak berani
mengeluh/ itu artinya sudah gawat/ dan bila omongan penguasa/ tidak boleh
dibantah/ kebenaran pasti terancam. Puisi jadi suguhan perlawanan.
Pembisuan dan pelemahan kritik pecah
saat Orde Baru mengalami sakit akut oleh deraan krisis ekonomi-politik
(1997-1998). Politik harga diajukan oleh rezim untuk mengatasi
"kebangkrutan" dan apologi mempertahankan kekuasaan. Y.B.
Mangunwijaya (13 Mei 1998) menganggap kenaikan harga BBM merupakan penciptaan
"titik-tanpa-balik". Harga bisa menjatuhkan rezim dan harga diri
penguasa. Ironi politik seolah terulang dengan jawaban demonstrasi. Indonesia
saat itu menjadi negeri demonstrasi. Y.B. Mangunwijaya mengingatkan: "Jika
demonstrasi teratur dilabrak keras akan tumbuhlah demonstrasi rakyat: mengamuk
anarkistis". Pengharapan juga dimunculkan agar demonstrasi membuat
"fajar kearifan historis akan menyingsing". Orde Baru bisa dijatuhkan
meski meninggalkan luka dan petaka.
Narasi sejarah politik harga BBM dan
nasib rezim itu bisa jadi rujukan untuk membaca nasib Indonesia hari ini. Hatta
mengingatkan dengan surat. Gie bergerak dengan demonstrasi. Taufiq Ismail dan
Wiji Thukul menggugat dengan puisi. Kita cuma meramal nasib Indonesia saat
harus mengisahkan diri dalam naluri pengulangan sejarah. Kita pun menghendaki
Indonesia tak terluka dan nestapa. Begitu. [*]
Sumber: Koran Tempo Minggu, 08
April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar